Nama: Bagus Fatoni
Semester 4 (empat)
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) HASANUDDIN
PARE KEDIRI
DINASTI BANI BUWAIH
A. Kronologi Kedatangan Bani Buwaih
Masa
pemerintahan ini yaitu periode ketiga dari pemerintahan bani Abbas , dimana
kekhilafahannya dikuasai oleh bani
Buwaih sejak 334 -447 H/945-1055
kehadiran bani Buwaih berawal dari tiga orang putera Abu Syuja' Buwaih, seorang
pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad.
Untuk keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas
militer yang ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki ( Yatim, Badri.2006),
sehingga sebagian besar ahli sejarah Islam merangkai awal dari kemunculan bani
Buwaih dala paggung sejarah bani Abbas
bermula dari kedudukan panglima perang yang diraih Ali bin Ahmad dalam psukan
Makan Ibn Kali dari dinasti Saman, tetapi kamudian berpinadah ke kubu Mardawij
. Ketika Mardawij tebunuh pada tahun 943
,Ali sudah menjadi penguaa Isfahan dan sedang berusaha menjadi penguasa yang andiri. Kira-kira dua tahun
kemudian ketiga orang bersaudara ini menguasai bagian barat dan barat daya
Persia, dan pada tahun 945, setelah kematian jendral Tuzun, penguasa sebenarnya
atas Baghdad, Ahmad memasuki Baghdad dan memulai kekuasaan Bani Buwaih atas khalifah Abbasiyah. Gelar mu’izz
al- Daulah (yang memuliakan Negara) diperolehnya dari khalifah. Ia memerintah
Baghdad selama leih dari 24 tahun, sementara kedua saudaranya menguasai bagian
kerajaan sebelah timur.( watt, di dalam Maryam siti. 2009)
Sebenarnya keturunan Bani Buwaih
adalah keturunan kaum Syi’ah , dan bukan
keturunan Bani Abbas secara langsung pada saat itu. Melihat kekuasaan Bani
abbas yang semakin melemah di dalam bidang pemerinahan atau perpolitikan yang
mngakibatkan timbilnya keinginan dari daulat-daulat kecil yang ada di bawah
kekuasaan Baghdad. Kesempatan ini tidak kalah pentingnya bagi Ali sebagai
pemimpin Bani Buwaih sehingga langkah awal yang dilakukan yaitu mulai menakkan
di daerah-daerah Persia menjadikan Syiraz sebagi pusat pemerintahan. Ketika
Mardawij meninggal, Bani Buwaih yang
bermarkaz di Syiraz itu berhasil menalukkan beberapa daerah di Persia seperti
Rayy, Isfahan, dab daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari
Khlifah abbasiyah Al- Radhi Billah, dan mengirimkan sejumlah uang untuk
pembendaharaan Negara.Ia berhasil mendapat legalitas itu. Kemudian, melakukan
ekspasi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith. Dari
sini tetara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat pemerintahan
.ketika itu ,Baghdad dilanda kekisruhan
politik, akibat perebutan jabatan Amir Al Umara’ antara wazir dan pemimpin miiter. Para pemimpin militer
meminta bantuan kepada Ahmad Ibnu Buwaih yang berkedudukan di Akhwaz permintaan
itu dikabulkan, Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada tanggal 11 jumadil
ula (334 H/945M). (Al Isy ,Yusuf.1968)
B.
Orang-Orang Bani Buwaih
Seperti yang
telah disebutkan diatas Bani Buwaih bermahzab Syiah sehingga mereka patut
menjadikan seorang khalifah dari syiah zaidiyah, akan tetapi mereka menerima
kailafah Abbasiah.
Dengan hal
itulah Ahmad bin Buwaih menghindari penunjukan kalangan keluarga Ali sebagai
Khalifah. Padahal pada awalnya rakyat Irak telah
menerima Abbasiyah sebagai khilafah yang sudah menjadi bagian dari hidup
mereka, atau jabatan khalifah adalah jabatan yang bersifat mutlak di dalam
agama yang tidak akan pernah bisa diganggu gugat,dan inilah alasan untuk
memnerima bani Abbasiyah menjadi khilafah pada masa itu.
Dengan berkuasanya Bani Buwaih,
aliran Mu’tazilah bangkit lagi, terutama diwilayah Persia, bergandengan tangan
dengan kaum Syi’ah. Pada masa ini muncul banyak pemikir Mu’tazilah dari aliran
Basrah yang walaupun nama mereka tidak sebesar para pendahulu mereka dimasa
kejayaannya yang pertama, meninggalkan banyak karya yang bisa dibaca sampai
sekarang. Selama ini orang mengenal Mu’tazilah dari karya-karya lawan-lawan
mereka, terutama kaum Asy’ariyah. Yang terbesar diantara tokoh Mu’tazilah
periode kebangkitan kedua ini adalah al-Qadi Abd al-jabbar, penerus aliran
Basra setelah Abu Ali dan Abu Hasyim.(Al- Isy, Yusuf.1968)
C. Keadaan
Politik Pada Masa Bani Buwaih
Di dalam
masalah politik yang berperan penting hanya bani buwaih yang memegang jabatan
penting pada Amir Al umara’,sehingga orang-orang bani Buwaih menetapkan
orang-orang Abbasiyah dalam pemerintahan, namun tidak memberikian kekuasaan
.Mereka melarang khalifah memperoleh pendapatan untuk kemudian mereka ambil
sendiriu.Mereka ,membuat pasukan khusus untuk khlifah yang berjumlah lima ribu
dirham sehari. Hal tersebut terjadi dimasa Almustakfa.( Al-Isy Yusuf,1968).
Sejak saat itu
para khalifah tunduk kepada Bani Buwaih, sehingga para khalifah Abbasiyah
benar-benar tinggal nama saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di
tangan amir-amir Bani Buwaih.
D. Kemunduran
Bani Buwaih
Kekuatan politik Bani Buwaih tidak bertahan lama, setelah
generasi pertama (tiga bersaudara) kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara
anak-anak mereka. Masing-masing merasa berhak atas kekuasaan pusat. Misalnya, pertikaian antara ‘Izz Al-Daulah
Bakhtiar, putera Mu’izz Al-daulah dan ‘Adhad Al-Daulah, putera Imad Al-daulah,
dalam perebutan jabatan amir al-umara. Perebutan
kekuasaan di kalangan keturunan Bani Buwaih ini merupakan salah satu faktor
internal yang membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka. Faktor internal
lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara golongan yang berassal
dari Dailam dengan keturunan Turki. Ketika amir
al-umara dijabat oleh Mu’izz
Al-Daulah persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki
oleh orang-orang yang lemah, masalah tersebut muncul kepermukaan, mengganggu
stabilitas dan menjatuhkan wibawa pemerintah.
Sumber:
MASA KEKUASAAN BANI
SALJUK
A.
Asal
Usul bangsa Saljuk
Nama dinasti Saljuk diambil dari sebuah nama seorang tokoh
yang berasal dari keturunan Turki yaitu Saljuk bin Tuqaq.berasal dari kabilah
kecil keturunan Turki, yakni kabilah Qunuq. Kabilah ini bersama dua puluh
kabilah kecil lainnya bersatu membentuk rumpun Ghuz. Semula gabungan kabilah
ini tidak memiliki nama, hingga muncullah tokoh Saljuk putra Tuqaq yang
mempersatukan mereka dengan memberi nama suku Saljuk.
Saljuk dikenal sebagai seorang orator ulung dan dermawan
oleh kerena itu ia disukai dan taati oleh masyarakat, dilain pihak istri raja
Turki khawatir jika saljuk melakukan pemberontakan, karenanya ada rencana untuk
membunuh saljuk secara licik, dan saljuk sendiri mengetahui rencana jahat
tersebut lalu ia mengumpulkan pasukannya dan membawa mereka ke kota Janad,
mereka tinggal disana dan bertetangga
dengan kaum muslimin di negeri Turkistan, maka ketika saljuk melihat prilaku
orang Islam yang baik dan berakhalaq luhur ia akhirnya memeluk agama Islam dan
kabilah Ghuzpun akhirnya memeluk Islam. Dan sejak itulah saljuk mulai melakukan
perlawanan dan peperangan melawan orang-orang Turki yang kafir, akhrinya iapun
mampu mengusir bawahan raja Turki dan menghapus pajak atas kaum muslimin.
Dalam kajian historis para sejarawan menyebutkan bahwa suku
Saljuk memeluk agama Islam
pada sekitar akhir abad ke-4 H/ 10 M, dengan barmazhab Sunni.
B.
Silsilah
Nasab Dinasti Salju
Silsilah kelurga Dinasti Saljuk bisa perinci sebagai
berikut ;
1.
Saljuk Ibnu
Tuqaq memiliki dua orang putra yaitu Mikail dan Arselan Payghu namun dalam
leteratur lain disebutkan bahwa Saljuk memiliki empat orang anak yaitu Arselan, Mikail, Musa
dan Yunus.
2.
Mikail
memiliki dua orang putra yaitu Chager Bek Daud dan Tughril Bek
3.
Chager Bek
Daud memiliki dua orang putra yaitu Alp Arselan dan Kaward,
4.
Alp Arselan
memiliki dua orang putra yaitu Malik
Syah dan Tutush,
5.
Malik Syah
memiliki empat orang putra yaitu Bargiyaruk, Muhammad, dan Sinyar serta Mahmud.
C.
Awal
Mula
Kemunculan Dinasti Saljuk
Diatas telah
dijelaskan bahwa Saljuk dan orang-orang yang setia kepadanya menyelamatkan diri
dengan melarikan diri ke arah Barat, yaitu daerah Jundi (jand), suatu daerah
yang merupakan bagian dari Asia Kecil yang dikuasai oleh dinasti Samaniyah yang
dipimpin oleh Amir Abd al-Malik Ibn Nuh (954-961 M)
Tempat
tinggal bangsa Saljuk ini berdekatan dengan kaum Samaniyah dan Ghaznah yang
merupakan dua Dinasti yang saling bersitegang, dan terkadang terjadi pertikaian atau peperangan diantara
mereka. Kondisi ini memberi ruang kosong bagi kaum Saljuk untuk menunjukan
eksistensinya dengan cara memberikan tendensinya kepada salah satu dari dua
dinasti yang sedang berseteru tersebut, yaitu kepada Dinasti Samaniyah, dan
sebagai imbalanya Dinasti samaniyah memberikan keleluasaan bagi kaum saljuk
untuk bertempat berdekatan dengan Sihun.
Pada tahun
389 H, dinasti Samaniyah mengalami kemundurun yang signifikan maka disaaat itu
kaum Saljuk berada digarda terdepan dalam meneruskan perlawanan terhadap
dinasti Ghaznah. Sepeninggal Saljuk kepemimpinan diteruskan oleh putranya yang
bernama Arselan, namun kepemimpinan Arselan berakhir atas kelicikan Sultan
Mahmud seorang pemimpin dinasri Ghaznah yang berpura pura baik dan kemudian
menangkap dan memenjarakan Arselan. Selanjutnya tampuk kepemimpinan diambil
alih oleh Mikael yang merupakan saudara Arselan. Namun nasib Mikael sama dengan
yang dialami oleh kakaknya yaitu terpedaya oleh kelicikan sikap Sultan Mahmud
yang pada tahun 418 H Sulatan Mahmud menyerang dan memporakporanakan kaum
Saljuk yang berujung pada kematian Mikael.
Mikael
mempunyai dua orang putra yang selanjutnya menjadi penerus kepemimpinan kaum
Saljuk dan sekaligus penggagas berdirinya dinasti Saljukiyah, yaitu Jughril
Bek dan Tughril Bek.
Sepeninggal
Sultan Mahmud dinasti Ghaznah mengalami kemunduran, karena Mas’ud yang menjadi
penerusnya tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menjadi pemimpin Negara.
Dilain sisi kaum Saljuk terus merong-rong dinasti Ghaznah yang mulai rapuh yang
pada akhirnya usaha mereka membuahkan hasil dengan tewasnya Mas’ud putra Sultan
Mahmud dan mundurnya kaum Ghaznah meninggalkan Khurasan menuju India dalam
sebuah pertempuran pada tahun 429 H, maka ketika itu juga Tughril bek
mengumumkan pendirian dinasti Saljuk,
Mereka mampu merebut Marw dan Naisabur
dari genggaman kekuasaan Ghaznah, kemudian mereka juga merebut Balkh, Jurjan,
Thabaristan, khawarizm, Hamadhan, Rayyi, dan Isfahan serta pemerintah Buwaihi
tunduk di bawah kendali mereka.
Pada masa pemerintahan Saljuk ini,
mereka menguasai dan memerintah di Baghdad selama sekitar 93 tahun yaitu dari
tahun 429 H/1037 M hingga tahun 522 H/1127 M.[1]
Pencapaian gemilang yang dilakukan oleh
pemerintahan Tughril Bek adalah menguasai Baghdad dan mengakhiri Dinasti
Buwaihi yang pada saat itu dipimpin oleh al-Malik al-Rahim dengan panglima
tentaranya yaitu al-Basasiri, serta menguasai beberapa wilayah yang telah
disebutkan sebelumnya. Atas dasar kegemilangan Tughril Bek inilah kemudian dia
mendapatkan dua gelar kehormatan, yaitu :
1.
Yamin Amir
al-Mu'minin,
gelar ini diperoleh karena menumpas Bani Buwaih di Baghdad,
2.
Malik
al-Syarqi al-Gharb, gelar ini diperoleh karena menewaskan al-Basasiri dan
mengembalikan kekuasaan Khalifah al-Qa'im.
D.
Periode
Keemasan Dinasti Saljuk (1063-1072 M)
Setelah Tughril Bek meninggal,
kepemipinan diteruskan oleh Alp Arselan keponakan dari Tughril Bek, karena ia
tidak mempunyai seorang putra, Dia memerintah sejak tahun 1063 hingga 1072 M.
Perluasan
daerah yang sudah dimulai pada kepemimpinan Thugrul Bek dilanjutkan oleh Alp
Arselan ke arah Barat sampai pusat kebudayaan Romawi di Asia kecil, yaitu
Bizantium.
Dalam
gerakan ekspansi itu tedapat peristiwa penting yaitu yang dikenal dengan
peristiwa Manzikar 463, dimana Tentara Alp Arselan berhasil mengalahkan kekuatan
besar tentara Romawi yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr,
Prancis dan Armenia. Dan dikuasainya Manzikar pada tahun 463[2].
Peristiwa ini yang dinilai banyak sejarawan mempunyai pengaruh besar terhadap
rentetan sejarah peperangan besar antara kaum Islam dengan kaum Nasrani.
Pada pereode
inilah dinasti
Saljuk mencapai masa kejayaannya, wilayah kekuasaannya membentang mulai
dari Kasgar, satu kota di ujung wilayah Turki, sampai ke Yerusalem dan luasnya dari wilayah Contantinopel sampai
ke laut Kaspia. Atas dasar ini dinasti Saljuk dikenal gemar melakukan ekspansi perluasan
wilayah yang sangat luas, seperti halnya penguasa Turki Usmani yang berhasil
mendirikan sebuah imperium besar pada abad ke-14 M.
E.
Sikap
Saljuk Terhadap Imperium Abbasiyah
Dinasti Saljuk memiliki hubungan baik
dengan khalifah Abbasiyah yang berbeda halnya dengan dinasti Buwaih, hal ini disebabkan kesamaan dalam mazhab, yaitu sama-sama berpegang kepada mazhab
Sunni. Dengan berpegan kepada mazhab tersebut, memudahkan kerja sama di antara
kedua belah pihak dan mendorong kaum Saljuk itu menyanjung dan menghormati
dengan setinggi-tingginya kepada khalifah Abbasiyah. Disamping itu Bani Buhaih adalah kaum yang bersifat
kasar dan ganas, sementara kaum Saljuk tidak demikian. Saljuk selalu
bersikap hormat, sopan, berlaku baik dan lembut sebagaimana tercermin dari
ucapan Tughrul Bek ketika menghadap khalifah; “aku pelayan Amirul Mu’minin,
bertindak atas perintah dan larangannya, berbuat sesuai mandatnya. Hanya kepada
Allah aku meminta pertolongan dan taufik”
Kedekatan antara bani Saljuk dan
imperium Abbasiyah semakin erat ketika al-Qaim menikahi khadijah yang merupakan
keponakan Tughrul Bek, sementara Tughrul Bek menikahi putri al-Qaim pada tahun
454 H/1062 M.
Dari paparan diatas memberikan
pemahaman bahwa posisi Dinasti Saljuk memiliki pengaruh dan kedekatan emosional
kepada Imperium Abbasiyah yang dalam realitas politik ketika itu tidak dapat
dipungkiri bahwa Dinasti Saljuk memberikan pengaruh dan sumbangan besar
terhadap imperium Abbasiyah.
F.
Kemajuan
Pada Dinasti Saljuk
1.
Perkembangan Politik
Pada
masa Dinasti Saljuk tepatnya pada kepemimpinan Alp Arslan, wazir Nizam al-Muluk
memiliki pengaruh positif kepada Dinasti Saljuk yaitu dengan memberikan ide-ide
segar dalam mengubah dasar-dasar pemerintah, diantaranya adalah:
a.
Menciptakan
satu angkatan tentara Saljuk yang kuat.
b.
Mempererat
hubungan antara khalifah Abbasiyah al-Qa'im dengan kerajaan Dinasti Saljuk.
c.
Berpartisipasi
dalam pelantikan Malik Syah sebagai penerus Alp Arslan.
2.
Perkembanga pendidikan
Berkembangnya
ilmu pengetahuan dengan melahirkan beberapa ilmuan muslim yang lahir pada masa
ini, antara lain: al-Zamakhsyari sebagai tokoh dalam bidang teologi dan tafsir,
al-Qusyairi sebagai ahli tafsir, imam al-Ghazali sebagai tokoh dalam bidang
teologi, filsafat dan tasawuf, Farid al-Addin al-Athar dan Umar Khayyam sebagai
tokoh dalam bidang sastra.
Bahkan
kemajuan pendidikan pada Dinasti Saljuk sudah
menyentuh dalam bidang Iptek, pada tahun 1075 M, Maliksyah
menyelenggarakan sebuah konferensi yang menghadirkan pakar-pakar bidang
astronomi. Konferensi ini memberi mandat kepada Nizam al-Muluk untuk
memperbaharui kalender Persi berdasarkan hasil observasi mutakhir yang lebih
terpercaya. Dengan menghasikan kalender
Jalali.
Selain
itu Dinasti Saljuk mendirikan sejumlah lembaga pendidikan, diantaranya madrasah
Niz}amiyah di Baghdad, Balkh, Naisabur, Jarat, Ashfahan, Basrah, Marw, Mausul,
dan lain sebagainya. madrasah Niz{amiyah didirikan dengan tujun: pertama, menyebarkan
pemikiran Sunni untuk menghadapi pemikiran Syiah, kedua, menyediakan guru guru
Sunni yang cukup untuk untuk mengajarkan faham Sunni dan menyebarkanya ke
tempat lain, ketiga, membentuk kelompok pekerja Sunni untu
berpastisipasi dalam menjalankan pemerintahan khususnya dibidang peradilan dan
manajemen.
Dan diantara alumninya adalah Imam Ghazali.
3.
Perkembangan infrastruktur
Kontribusi
Dinasti Saljuk dalam bidang arsitektur begitu besar. Dan Malik Syah terkenal dengan usaha pembangunan
separti masjid, jembatan, irigasi, jalan raya dan rumah sakit.
G.
Keruntuhan
Dinasti Saljuk
Sepeninggal Sultan Malik Syah, kepemimpinan
diteruskan oleh anaknya yaitu Barkiaruq, pada masa ini dinasti Saljuk mulai
mengalami kemunduran. Terdapat beberapa factor yang melatar belakangi
kemunduran pemerintahan adapun faktor yang menjadi sebab runtuhnya dinasti
saljuk adalah sebagai berikut:
1.
Konflik internal antara saudara, paman dan anak-
anak yang memperebutkan tonggak kepemimpnan.
2.
Lemahnya para khalifah Abbasiyah untuk andil dalam
dinasti Saljuk, sehingga kekhalifahan tidak mampu menolak atau mengarahkan
siapa saja yang akan duduk dikursi kesultanan Saljuk.
3.
Ketidak mampuan pemerintah Saljuk dalam menyatukan
wilayah Syam, Mesir dan Irak di bawah panji kekuasaan bani Saljuk
4.
Terjadi gesekan besar dalam kekuasaan Saljuk
sehingga menimbulan bentrokan militer yang terus menerus
5.
Konspirasi orang-orang aliran Bathiniyah terhadap
kesultanan Saljuk dan juga membunuh para Sultan dan beberapa komandanya.
Sumber:
DINASTI FATIHIMIYAH
A. Fase
Berdirinya Dinasti Fathimiyah
Dinasti
Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada 567 H/1171 M yang
pada awalnya hanya merupakan sebuah gerakan keagamaan yang berkedudukan di
Afrika Utara, dan kemudian berpindah ke Mesir[3]. Dinasti ini dinisbatkan
kepada Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW dan sekaligus istri Ali bin Abi
Thalib Radhiallahu anhu. Dan juga dinasti ini mengklaim dirinya sebagai
keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Zahra
binti Rasulullah SAW. Namun masalah nasab keturunan Fathimiyah ini masih dan
terus menjadi perdebatan antara para sejarawan. Dari dulu hingga sekarang belum
ada kata kesepakatan diantara para sejarawan mengenai nasab keturunan ini, hal
ini disebabkan beberapa faktor diantaranya ;
1. Pergolakan politik dan madzhab yang
sangat kuat sejak wafatnya Rasulullah SAW.
2. Ketidakberanian dan keengganan keturunan
Fatimiyah ini untuk mengiklankan nasab mereka, karena takut kepada penguasa,
ditambah lagi penyembunyian nama-nama para pemimpin mereka sejak Muhammad bin
Ismail hingga Ubaidillah al Mahdi.
Dinasti
Fatimiyah beraliran syiah Ismailiyah dan didirikan oleh Sa’id bin Husain al
Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah al Mahdi berpindah dari
Suria ke Afrika Utara karena propaganda Syiah di daerah ini mendapat sambutan
baik, terutama dari suku Barber Ketama. Dengan dukungan suku ini, Ubaidillah al
Mahdi menumbangkan gurbernur Aglabiyah di Afrika, Rustamiyah Kharaji di Tahart,
dan Idrisiyah Fez dijadikan sebagai bawahan.
Pada
awalnya, Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru pada
masa Abdullah bin Maimun yang mentransformasikan ini sebagai sebuah gerakan
politik keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia
ia mengirimkan misionaris ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan
ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar
belakang berdirinya dinasti Fatimiyah.
Silsilah Kekhalifaan Fatimiyah
Al-Mahdi (909-934)
Al-Qa’im (934-946)
Al-Manshur (946-952)
Al-Mu’izz (952-975)
Al-Aziz (975-996)
Al-Hakim (996-1021)
Al-Zhahir (1021-1035)
Al-Mustanshir (1035-1094)
Al-Musta’li (1094-1101)
Al-Amir (1101-1130)
Al-Hafizth (1130-1149)
Al-Zafir (1149-1154)
Al-Fa’iz (1154-1160)
Al-Adhid (1160-1171)
B. Perkembanganan
Kemajuan Dinasti Fathimiyah
Pada
masa pemerintahan Fatimiyah, persoalan agama dan negara tidak dapat dipisahkan.
Agama dipandang sebagai pilar utama dalam menegakkan daulah/negara. Untuk itu,
pemerintah Fatimiyah sangat memperhatikan masalah keberagamaan masyarakat
meskipun mereka berstatus sebagai warga negara kelas dua seperti orang Yahudi,
Nasrani, Turki, Sudan.
Menurut
K.Ali, mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat, bahkan penuh perhatian
terhadap urusan agama non muslim sehingga orang-orang Kristen Kopti Armenia
tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan selain dari pemerintahan Muslim.
Banyak orang Kristen, seperti al-Barmaki, yang diangkat jadi pejabat pemerintah
dan rumah ibadah mereka dipugar oleh pemerintah.
Akan
tetapi, Kemurahan hati yang ditampilkan Khalifah Fatimiyah terhadap orang
Kristen tidak urung menimbulkan isu negatif. Al-Mu’iz yang dikenal dengan
kewarakan dan ketaqwaannya diisukan telah murtad, mati sebagai orang Kristen
dan dikubur di gereja Abu Siffin di Mesir kuno. Namun, menurut Hasan, isu
tersebut tidak benar sebab tidak ada sejarawan yang menyebutkan seperti itu,
dan hanya cerita karangan (Khurafat) yang sengaja dienduskan oleh orang-orang
yang tidak senang kepadanya termasuk dari sisa-sisa penguasa Abbasiyah yang
sengaja ingin melemahkan kekuatan Fatimiyah.
Sementara
itu, agama yang didakwahkan Fatimiyah adalah ajaran Islam, menurut pemahaman
Syi’ah Islamiyah yang ditetapkan sebagai mazhab negara. Untuk itu, para
missionaris daulah Fatimiyah sangat gencar mengembangkan ajaran tersebut dan
berhasil meraih pengikut yang banyak sehingga masa kekuasaan daulah Fatimiyah
dipandang sebagai era kebangkitan dan kemajuan mazhab Islamiyah.
Meskipun
para Khalifah berjiwa moderat, akan tetapi terhadap orang yang tidak mau
mengakui ajaran Syi’ah Islamiyah langsung dihukum bunuh. Pada tahun 391 H
khalifah al-Hakim membunuh seorang laki-laki yang tidak mau mengakui
keutamaan/fadhilah Ali bin Abi Thalib, dan di tahun 395 H, al-Hakim juga
memerintahkan agar di mesjid, pasar dan jalan-jalan ditempelkan tulisan yang
mencela para sahabat.
Jelasnya
peranan agama sangat diperhatikan sekali oleh penguasa untuk tujuan
mempertahankan kekuasaan. Buktinya, sikap tegas khalifah Fatimiyah terhadap
orang yang tidak mau mengakui mazhab Isma’iliyah dapat berupa apabila sikap
seperti dapat berakibat munculnya instabilitas negara. Al-Hakim misalnya, agar
terjalin hubungan yang baik dengan rakyatnya yang berpaham sunni, al-Hakim
mulai bersikap lunak dengan menetapkan larangan mencela sahabat khususnya
khalifah Abu Bakar dan Umar. Al-Hakim juga membangun sebuah madrasah yang
khusus mengajarkan paham sunni, memberikan bantuan buku-buku bermutu sehingga
warga Syi’ah ketika merasa senang sebab merasakan tengah hidup dikawasan sunni.
Dalam
bidang administrasi pemerintahan tidak banyak berubah. Sistem administrasi yang
dikembangkan khalifah Abbasiyah masih terus saja dipraktekkan. Khalifah
menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun dalam urusan
spritual. Ia berwenang mengangkat sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di
bawahnya.
Pengelolaan
negara yang dilakukan Dinasti Fatimiyah ialah dengan mengangkat para menteri.
Dinasti Fatimiyah membagi kementrian menjadi dua kelompok. Pertama kelompok
militer yang terdiri dari tiga jabatan pokok
ð Pejabat militer dan pengawal khalifah
ð Petugas keamanan
ð Resimen-resimen
Kemudian kelompk sipil yang terdiri
atas:
ð Qadhi (Hakim dan direktur percetakan uang)
ð Ketua Dakwah yang memimpin pengajian
ð Inspektur pasar (pengawas pasar, jalan,
timbangan dan takaran)
ð Bendaharawan negara (menangani Bait Maal)
ð Kepala urusan rumah tangga raja
ð Petugas pembaca Al Qur'an, dan
ð Sekretaris berbagai Departemen
Selain pejabat pusat, disetiap
daerah terdapat pejabat setingkat guberbur yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola
daerahnya masing-masing. Administrasi dikelola oleh pejabat setempat.
C. Puncak
Kejayaan Dinasti Fathimiyah
Sepanjang
kekuasaan Abu Mansyur Nizar al-Aziz (975-996), Kerajaan Mesir Senantiasa
diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah
pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Dibawah kekuasaannyalah dinasti
Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Nama sang khalifah selalu disebutkan
dalam khutbah-khutbah jum’at disepanjang wilayah kekuasaanya yang berbentang
dari Atlantik hingga laut Merah, juga di mesjid-mesjid Yaman, Mekkah, Damaskus,
Bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung, kekuasannya meliputi wilayah yang
sangat luas.
Di
bawah kekuasaannya kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi
kekhalifaan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifaan itu telah
menenggelamkan penguasa Baghdad dan ia berhasil menempatkan kekhalifaan
Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Meditera Timur. Al-Aziz
menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi
istana Abbasiyah, musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad
berhasil ditaklukkan. Seperti pendahulunya ia melirik wilayah Spanyol, tetapi
khalifah Kordova yang percaya diri itu ketika menerima surat yang pedas dari
raja Fatimiyah memberikan balasan tegas dengan berkata, “Engkau meremehkan kami
karena kau telah mendengar tentang kami. Jika kami mendengar apa yang telah dan
akan kau lakukan kami akan membalasnya”.
Menurut
Harun Nasution, dalam masa kejayaan ini tergores sejarah yang menunjukkan
kegemilangan Fatimiyah bahwa salah satu golongan sekte syiah yang bernama
Qaramithah (Carmatian) yang dibentuk oleh Hamdan Ibnu Qarmat di akhir abad IX,
menyerang Makkah pada tahun 951 M dan merampas Hajar Aswad dengan mencurinya
selama dua puluh tahun. Hal ini disebabkan mereka meyakini bahwa hajar aswad
adalah merupakan sumber takahayul. Gerakan ini menentang pemerintahan Pusat
Bani Abbas, namun Hajar Aswad ini akhirnya dikembalikan oleh Bani Fathimiyah
setelah didesak oleh kalifah Al Mansur pada tahun 951 M.
D. Masa
Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Fathimiyah
Gejala-gejala
yang menunjukkan kemunduran dinasti Fatimiyah telah terlihat dipenghujung masa
pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa pemerintahan
al-Muntasir yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan adalah Fatimiyah
pada masa pemerintahan al-Adid 567 H / 1171 M.
Adapun
faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya daulah Fatimiyah dapat
diklarifikasikan kepada faktor internal dan eksternal:
1. Faktor
Internal
Faktor internal yang paling signifikan
dalam menghantarkan kemunduran daulah Fatimiyah adalah di karenakan lemahnya
kekuasaan pemerintah. Menurut Ibrahim Hasan, para khalifah tidak lagi memiliki
semangat juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para pendahulu mereka
ketika mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para khalifah yang
bermewah-mewah merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk melakukan
ekspansi.
Selain itu, para khalifah kurang cakap
dan memerintah sehingga roda pemerintahan tidak bejalan secara efektif, ketidak
efektifan ini dikarenakan khalifah yang diangkat banyak yang masih berusia
relatif muda sehingga kurang cakap dalm mengambil kebijakan . Tragisnya mereka
ibarat boneka ditangan para wajir karena peranan wajir begitu dominan dalam
mengatur pemerintahan.
2. Faktor
Eksternal
Adapun faktor eksternal yang menjadi
penyebab runruhnya daulah Fatimiyah adalah menguatnya kekuasaan Nur al-Din
al-Zanki di Mesir. Nur al-Zanki adalah Gubernur Syiria yang masih berada di
bawah kekuasaan Bani Abbasiyah. Popularitas al-Zanki menonjol pada saat ia
mampu mengalahkan pasukan salib atas permohonan khalifah al-Zafir yang tidak
mampu mengalahkan tentara salib.
Dikarenakan rasa cemburunya kepada
Syirkuh yang memiliki pengaruh kuat di istana dianggap sebagai saingan yang
akan merebut kekuasaannya sebagai wazir, syawar melakukan perlawanan. Agar
mampu menguat kekuasannya, Syawar meminta bantuan tentara Salabiyah dan
menawarkan janji seperti yang dilakukannya terhadap Nural-Din.
Tawaran ini diterima King Almeric selaku
panglima perang salib dan melihatnya sebagai suatu kesempatan untuk dapat
menaklukkan Mesir. Pertempuran pun pecah di Pelusium dan pasukan Syirkuh dapat
mengalahkan pasukan salib.Syawar sendiri dapat ditangkap dan dihukum bunuh
dengan memenggal kepalanya atas perintah khalifah Fatimiyah.
Dengan kemenangan ini, maka Syirkuh
dinobatkan menjadi wazir dan pada tahun 565 H / 1117 M. setelah Syirkuh wafat,
jabatan wazir diserahkan kepada Salah al-Din Ayyubi. Selanjutnya Salah al-Din
mengambil kekuasaan sebagai khalifah setelah al-Adid wafat. Dengan berkuasanya
Salah al-Din, maka diumumkan bahwa kekuasaan daulah Fatimiyah berakhir. Dan
membentuk dinasti Ayyubiyah serta merubah orientasinya dari paham syi’ah ke
sunni.
Khalifah Fatimiyah berakhir pada tahun
567 H / 1117 M. Untuk mengantipasi perlawanan dari kalangan Fatimiyah, Salah
al-Din membangun benteng bukit di Muqattam dan dijadikan sebagai pusat
pemerintahan dan militer. Yang kini bangunan benteng tersebut masih berdiri
kokoh di kawasan pusat Mishral qadim (Mesir lama) yang terletak tidak jauh dari
Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa Asia di Qatamiyah.
Sumber:
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/05/dinasti-fathimiyah.html