Materi PAI MTs, SKI Pada Masa Khulafaurrasyidin

Tuesday, October 8, 2013

| 0 komentar


BAB I
PENDAHULUAN
   Salah satu isi dari tujuan pendidikan Nasional adalah membentuk keimanan dan ketakwaan peserta didik. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut terdapat mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang berupaya membentuk para peserta didik menjadi peserta didik yang beriman, bertakwa karena pengertian pendidikan Agama Islam menurut Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum Negeri (Ditbinpaisun) adalah suatu usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan dapat memahami apa yang terkandung di dalam Islam secara keseluruhan, menghayati makna dan maksud serta tujuannya dan pada akhirnya dapat mengamalkannya serta menjadikan ajaran-ajaran agama Islam yang telah dianutnya itu sebagai pandangan hidupnya sehingga dapat mendatangkan keselematan dunia dan akheratnya kelak.
. Di madrasah, terdapat sub-sub mata pelajaran PAI yang meliputi : mata pelajaran Al quran hadist, fiqih, akidah akhlak, dan sejarah kebudayaan Islam. Hubungan antara satu pelajaran dengan pelajaran lain saling berkaitan dan diibaratkan sebagai satu mata rantai. mata pelajaran sejarah kebudayaan Islam merupakan perkemangan perjalanan hidup manusia Muslim dari masa ke masa dalam usaha bersayari’ah dan berakhlak serta dalam mengembangkan system kehidupan yang dilandasi oleh akidah.
Dalam pembelajaran sejarah Islam yang dimaksudkan untuk menggali, mengembangkan, dan menagmbil ibrah pelajaran sejarah dan kebudayaan Islam, sehingga peserta didik mampu menginternalisasi dan tergerak untuk meneladani dan mewujudkan dalam amal perbuatan, serta dalam rangka membangun sikap terbuka dan toleran atau semangat ukhuwah Islamiyah dalam arti luas. Namun, apakah para peserta didik di MTS mampu menjadikan pelajaran SKI sebagai suatu tolak ukur dalam pengambil pelajaran dalam sejarah Islam, hal ini menyangkut bagaimana Realitas Mata pelajaran SKI di MTS.









BAB II
PEMBAHASAN

A.  Khulafa Urasyidin
Khulafaur Rasyidin menurut bahasa artinya para pemimpin yang mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Sedangkan menurut istilah yaitu para khalifah (pemimpin umat Islam) yang melanjutkan kepemimpinan Rasulullah SAW sebagai kepala negara (pemerintah) setelah Rasulullah SAW wafat. Rosululloh diutus tidak hanya sebagai seorang Nabi yang diutus Allah SWT. Untuk mrnyampaikan risalah agama, namun lebih dari itu Beliau juga seorang kepala negara yang memimpin suatu negara. Dan setelah Nabi Muhammad meninggal, para sahabat Muhajirin maupun Anshor berkumpul untuk bermusyawarah mengangkat seorang pemimpin di antara mereka sebagai pengganti Nabi, inilah Khulafa Urasyidin:
a.    Abu Bakar as Shiddiq
b.    Umar Bin Khatab
c.    Utsman Bin Affan
d.   Ali Bin Abi Tholib

B.  Kholifah Abu Bakar as Shiddiq (11-13 H atau 632-634 M)
Abu Bakar as Shiddiq yang dahulu bernama Abdullah Ibnu Abi Quhafah at Tamim, pada masa jahiliyah bernama Abdul Ka’bah, kemudian oleh nabi diganti namanya menjadi Abdullah Kuniyahnya abu bakar. Beliau diberi nama kuniyah abu bakar (pemangi) karena beliau merupakan kelompok pertama yang masuk islam. Dan beliau diberi gelar Ash shidiq yang artinya yang amat membenarkan, karena beliau amat membenarkan Rasul dalam berbagai macam peristiwa, terutama peristiwa Isra’ dan Mi’raj.[1]
Di masa jahiliyah beliau berniaga sekaligus sebagai penyiar agama islam, beliau juga terkenal sebagai orang yang jujur dan berhati suci. Maka dalam menyiarkan agama jslam beliau mendapatkan hasil yang baik. Beliau ikut bersama-sama Nabi untuk hijrah ke Madinah, dan bersama-sama pula bersembunyi di gua Tsaur, pada malam permulaan hijrah sebelum melanjutkan perjalanan.
Setelah Rasulullah wafat, kaum Anshar menghendaki bahwa orang yang terpilih menjadi khalifah adalah dari golongan mereka. Namun dalam hal itu Ali bin Abi Thalib menghendaki supaya dirinya yang angkat menjadi khalifah, menurut Ali kepantasannya menjadi khalifah yaitu karena ia menantu dan karib Rasulullah. Tetapi banyak kaum muslimin yang menghendaki bahwa yang pantas menjadi khalifah adalah Abu Bakar, dan akhirnya keinginan kaum muslimin tercapai.
Setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, beliau berpidato dan dalam pidatonya dijelaskan siasat pemerintahan yang akan beliau laksanakan.”Wahai manusia! Saya telah diangkat untuk mengadilkan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu. Maka jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku, tetapi jika aku berbuat salah, maka betulkanlah! Orang yang kamu pandang kuat, saya pandang lemah, hingga aku dapat mengambil hak daripadanya, sedangkan orang yang kamu pandang lemah, saya pandang lemah, hingga saya dapat mengembalikan haknya kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selam aku taat kepada Allah dan RasulNya, tetapi bilamana aku tiada menaati Allah dan RasulNya kamu tak perlu menaatiku”.[2]
Sebagai khalifah yang pertama setelah Rasulullah wafat merupakan hal yang berat untuk menjalankan kewajibanya sebagai seorang khalifah, karena setelah perang Tabuk selesai banyak orang yang menyatakan masuk islam, namun mereka hanya menyatakan keislamannya dalam keadaan yang awam, karena mereka belum mendalami agama islam yang sebenarnya sehingga agama islam belum mendalam meresapi dan merasuk ke dalam sanubari mereka. Banyak kesulitan lain yang dihadapi Abu bakar, mengingat masa pemerintahanya berlangsung pada masa perpindahan dari Rasulullah kepada beliau. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi diantaranya:
a.       Menghadapi orang-orang murtad.
b.      Menghadapi orang-orang yang mengaku Nabi,yaitu Musailimatul Kazzab, Sajah, Al Aswad al ‘Ansi, Thulaihah ibnu Khuwailid.
c.       Menghadapi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.

Untuk mengatasi tiga permasalahan tersebut Abu bakar memusyawarahkan dengan para sahabat dan kaum muslimin. Dalam kesulitan inilah kelihatan kebesaran jiwa dan ketabahan hati Abu Bakar, beliau dengan tegas bersumpah, bahwa beliau akan memerangi orang yang menyeleweng dari kebenaran, sehingga mereka kembali di jalan Allah SWT. Walaupun beliau gugur dalam memperjuangkan kemuliaan agama Allah SWT. Sebagai relasasi dari rencara tersebut, beliau membentuk sebelas pasukan yang masing-masing di pimpin oleh pahlawan-pahlawan yang terkenal seperti: Khalid ibnul Walid, ‘Amr ibnu ‘Ash, ‘Ikrimah ibnu Abi Jahl, Syurahbil ibnu Hasanah, dll.
Pengerahan balatentara ini membawa hasil yang memuaskan, Musailimah terbunuh setelah terjadi pertempuran yang sengit, ia terbunuh oleh Wahsyi pembunuh Hamzah paman Rasulullah pada perang Uhud (pada waktu Wahsyi musryik), saat mengalami peristiwa tersebut ia berkata”aku telah membunuh manusia yang paling jahat (Musailimah) dan orang yang paling baik sesudah Rasulullah (Hamzah).[3] Sedangkan tentara Thulaihah dapat pula dipatahkan oleh tentara islam. Namun sang Nabi palsu melarikan diri dan bersembunyi, dan mereka masuk islam di masa pemerintahan Khalifah Umar, tetapi Al Aswad mati terbunuh sebelum itu. Dengan demikian persatuan tanah Arab kembali dan semakin kuat tali pegangan mereka kepada Agam Islam.

C.  Kholifah Umar Bin Khatab (13-23 H atau 634-644 M)
Umar Ibn Al-Khaththab diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan disetujui oleh kaum muslimin. Pada saat menderita sakit menjelang ajal tiba, Abu Bakar melihat situasi negara masih labil dan pasukan yang sedang bertempur di medan perang tidak boleh terpecah belah akibat perbedaan keinginan tentang siapa yang akan menjadi calon penggantinya, ia memilih Umar Ibn Al-Khaththab.
Beberapa usaha yang dihadapi oleh Umar dalam pemerintahannya antara lain: Menaklukan Persia, Kerajaan Persia merupakan ancaman yang terbesar dalam terhadap kaum muslim. Untuk mengimbangi bangsa Persia, Umar meneruskan perluasan islam yang telah dirintis pada masa Abu Bakar. Beliau mengirim pasukan ke Persia yang dipimpin panglima Sa’ad ibnu Abi Waqqash. Pada tahun 15 H terjadilah pertempuran dengan tentara Persia yang dipimpin panglima Rustam, dan akhirnya panglima Rustam terbunuh sehingga tentara Persia kalah. Peretempuran Damaskus, setelah pada masa Abu Bakar  memenangkan perang Anjadain, Umar melanjutkan gerakan melawan tentara Romawi di Syam. Selanjutnya melakukan pengepungan terhadap kota Damaskus. Pada pengepunagan kota Damaskus tentara islam melakukan strategi yang ampuh yaitu Khalid ibnul Walid dan pasukannya berjaga di pintu kota sebelah Timur, Abu Ubaidah di pintu yang disebut Bab al Jabiah, Amru ibnul Ash di Bab Tuma, Syurahbil ibnu Hasanah di Bab al Faradis dan Jazid ibnu Abi Sufyan di Bab Ash Shaghir. Tanpa kesulitan tentara islam dapat memasuki kota dengan mudah melalui dua pintu, Khalid melalui pintu timur dan Abu Ubaidah melalui Bab al Jabaiah pada tahun 14 Hijriyah. Kemudian dilanjutkan pertempuran Babilyon pada tahun 20 H, selanjutnya penaklukan Iskandariah.
Pada masa kepemimpinan Umar Ibn Al-Khaththab, wilayah islam sudah meliputi jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena perluasan daerah terjadi dengan begitu cepat, Umar Ibn Al-Khaththab segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi pemerintahan, dengan diatur menjadi delapan wialayah propinsi : Mekah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga Yudikatif dengan Eksekutif. Dalam melaksanakan pemerintahan, beliau membentuk jawatan-jawatan, mendirikan Baitul Mal, membentuk pasukan untuk menjaga dan melindungi tapal batas, menetapkan penggunaan penanggalan Hijriyah, dan mengadakan Hisbah (pengawasan terhadap pasar, pengontrolan terhadap timbangan dan takaran, penjagaan terhadap tata tertib, dan asusila, pengawasan terhadap kebersihan jalan dan sebagainya).[4]
Orang-orang Persia dan Yahudi berkomplotan untuk membunuh Umar, seorang bernama Abu Lu’luah berasal dari Persia telah berhasil menyelusup ke dalam Masjid di waktu Umar sedang melaksanakan sholat Subuh, dan ditikamlah Umar dengan sebuah golok, dan saat umat muslim mengejar Abu Lu’lah tetapi saat tertangkap Abu Lu’lah memakai goloknya untuk membunuh dirinya sendiri.[5]

D.  Kholifah Utsman Bin Affan (23-35 H atau 644-656 M)
Utsman ibnu Affan ibnu Abil Ash ibnu Umaiyah yang dilahirkan diwaktu Nabi Muhammad berusia lima tahun. Atas ajakan Abu Bakar Ash Shidiq, Utsman menyatakan beriman dan masuk islam. Hubungan Utsman dengan Rasulullah sangat akrab, Rasulullah menikahkan Utsman dengan putrinya Ruqaiyah. Namun karena Ruqaiyah meninggal saat perang Badr, maka Rasulullah menikahkan Utsman dengan putrinya yang kedua Ummu Kulsum. Oleh karena itu Utsman mendapat julukan “Dzun Nurain”(yang mempunyai dua cahaya).
Sebelum khalifah Umar meninggal dunia, umat muslimin mengusulkan untuk menunjuk seorang pengganti agar tidak terjadi perpecahan sesudah Umar meninggal. Kemudian umar mencalonkan enam orang sahabat terbaik Rasulullah yang telah diberi kabar akn masuk surga yaitu: Utsman ibnu Affan, Ali ibnu Thalib, Thalhah, Zubair ibnu Awwam, Sa’ad ibnu Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibnu Auf. Setelah Umar meninggal Abdurrahman putera Umar mengundurkan diri, kemudian bermusyawarah dengan kaum muslimin dan para calon Khalifah, akhirnya dapat disimpulkan dari permusyawarahan tersebut pendapat tertuju pada Utsman dan Ali, namun karena Utsman lebih tua dari Ali dan perilakunya lebih baik, maka dipilihlah Utsman sebagai khalifah.
Dalam pemerintahannya, Utsman mendapatkan masalah besar yang harus dilaksanakan yaitu menumpas pendurhakaan dan pemberontakan yang terjadi di beberapa daerah dan negeri yang telah masuk kebawah kekuasaan islam di zaman Umar. Dan masalah selanjutnya tentang perluasan islam yang dicapai Umar diteruskan Utsman sampai perluasan ke laut. Negeri yang masuk pada wilayah Utsman antara lain: Barqah, Tripoli Barat, dan bagian selatan negeri Nubah, Armenia, Thabaristan, Amu Dahria. Sifat Utsman yang dermawan terbawa dalam pemerintahannya, sehingga kas Negara dipakai untuk kepentingan dirinya, dan ada yang diberikan kepada kerabatnya. Beliau juga mengangkat keluarganya sebagai kepala-kepala daerah maupun gubernur serta pembantunya, hal tersebut dapat mencoreng kewibawaan utsman. Pada tahun ketujuh pemerintahannya, para sahabat menasehati beliau supaya beristirahat atau mengundurkan diri, namun Utsman tidak menanggapinya. Utsman semakin mempercayakan kepada keluarga dan kerabatnya, dan mereka melakukan tindakan sewenang-wenang serta menjatuhkan hukuman yang berat kepada orang yang mencurigai mereka. Akhirnya terjadilah pemberontakan di Khufa, Basrah, dan Mesir. Pemberontak dapat menerobos dan memanjat rumah Utsman, kemudian menyerang Utsman yang sedang membaca Al-Qur’an. Utsman tewas terbunuh, sedangkan isteri Utsman yang akan menolong tidak luput dari pemberontakan tersebut, jari-jari tangannya putus.

E.  KHALIFAH ALI IBNU ABI THALIB (35-40 H atau 656-661 M)
Ali ibnu Abi Thalib ibnu Abdi Muthalib, dilahirkan sepuluh tahun sebelum Nabi Muhammad diutus sebagai Rasull. Ali merupakan anak muda pertama yang menyataka iman dan masuk islam setelah Nabi Muhammad menjadi Rasull. Ali merupakn suami dari puteri Rasulullah yang bernama Fatimah. Namanya terangakat dan popular karena beliau pahlawan yang terkemuka dan terkenal ulung dalam berbagai peperangan.
Setelah khalifah utsman wafat, maka suara terbanyak untuk pengganti Utsman yaitu Ali. Dan Ali berpidato setelah dia menjadi khalifah:”wahai manusia! Kamu telah membaiah saya sebagai mana yang telah kamu lakukan kepada khalifah-khalifah yang terdahulu dari padaku. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan, apabila pilihan telah jatuh, maka menolak tidak boleh lagi. Imam harus teguh dan rakyat harus patuh. Bai’at kepadaku adalah bai’at yang rata, yang umum. Barangsiapa yang mungkir dari padanya terpisahlah dia dari agama islam”.[6] Dengan pidato Ali tersebut maka jelas bahwa pembai’ahan Ali bukanlah dari sepenuh hati kaum muslimin. Karena banyak para sahabat yang kurang setuju dengan pembai’ahan tersebut.
Dalam pemerintahannya Ali terkenal sebagai pemimpin yang disiplin, keras dan radikal. Sikapnya tercermin pada wataknya yang suka berterus terang, tegas bertindak, dan adil. Dalam pemerintahnya Ali mengeluarkan dua ketetapan:
a.    Memcat kepala daerah pada masa Utsman dan menggantinya.
b.    Mengambil kembali tanah yang diberikan Umar kepada keluarganya, serta pemberian kepada orang yang tidk beralasan.
Keadaan Ali yang mengeluarkan ketetapan tersebut menyeret Ali dalam jurang pertentangan dengan Bani Umayah. Akhirnya terjadi pertempuran antara Ali dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, dalam perang ini banyak kaum muslimin yang gugur. Akhirnya unta yang dinaiki Aisyah mati terbunuh dan akhirnya perang usai dengan kemenangan di tangan Ali. Setelah Ali menyelesaikan perang jamal maka Ali bertolak ke syam untuk menghadap Mu’awiyah yang tidak setuju Ali sebagai Khalifah. Peristiwa tersebut semakin membara dan akhirnya terjadilah peprangan yang lama di Shifin dekat sungai Furat.
Pada waktu Ali akan mengirim balatentara sekali lagi untuk menyerang Mu’awiyah, terjadilah suatu koplotan untuk mengakhiri hidup Ali, Mu’awiyah, dan Amr ibnu Ash. Koplotan tersebut terdiri dari tiga orang Khawarij, Abdurrahman ibnu Muljam berangkat ke Kufah untuk membunuh Ali, Barak ibnu Abdillah at Tamimi pergi ke Syam untuk membunuh Mu’awiyah, dan ‘Amr ibnu Bakr at Tamimi berangkat ke Mesir untuk membunuh ‘Amr ibnu Ash. Tetapi dari ketiga orang tersebut hanya Ibnu Muljam yang bisa membunuh Ali, dengan pedang waktu Ali memanggil orang yang sedang sholat di Masjid. Orang yang berada di Masjid dapat menangkap Muljam yang kemudian membunuhnya setelah Ali wafat.
Dengan wafatnya Ali, maka kaum muslimin bersepakat mendukung Mu’awiyah menjadi Khalifah. Berakhirlah msa Khulafaurrasyidin, dimana kaum Muslimin terpecah menjadi tiga kelompok besar:
a.       Jumhur ul Muslimin, yang mendukung Mu’awiyah dan pemerintahannya.
b.      Syi’ah, yang tetap mencintai Ali dan baitrnya serta menentang keras kelompok Mu’awiyah.
c.       Khawarij, yang dendam dengan Utsman, Ali, dan Mu’awiyah.
Menurut Ahmad Amir dan Dr.Hasan Ibrahim Hasan, ada satu golongan lagi selain tiga golongan yang disebutkan Syekh Khudlary Bek, yaitu Murjilah yang menganut politik netral.[7]







BAB III
PENUTUP

Setelah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam sejarah agama islam pada masa Khulafaurrasyidin jarang ditemukan konsep islam. Karena semuanya tergantung pada situasi dan kondisi yang ada. Seperti Abu Bakar yang diangkat dengan sistem demokrasi langsung. Umar diangkat dengan sistem kerajaan, yaitu Abu Bakar mengangkat langsung Khalifah Umar sebagai pengganti dirinya. Utsman naik menajdi Khalifah dengan sistem perwakilan atau sekarang lebih dikenal dengan parlemen. Sedangkan Ali diangakat dengan persetujuan yang sepihak dari kelompoknya, sehingga kaumnya terpecah belah.
Dan dengan sistem politik yang berbeda, pada masa khalifah Abu Bakar bersifat sentral, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah. Umar Ibnu Khaththab segera mengatur administrasi Negara dengan diatur menjadi delapan wialayah propinsi, dan membentuk beberapa departemen. Umar dengan mendirikan Baitul Mal, menetapkan penggunaan penanggalan Hijriyah, dan mengadakan Hisbah. Utsman menekankan sistem kekuasaan pusat yang mengusaai seluruh pendapatan propinsi dan menetapkan kepala daerah dari keluarganya sendiri. Sedangkan Ali dengan sifatnya yang tegas dan disiplin mengeluarkan peraturan yang membuat terjadinya perpecahan.









DAFTAR PUSTAKA

ð  Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Pustaka Alhuusnah, Jakarta:1987
ð  Prof. A. Hasyim,  Sejarah dan Kebudayaan Islam, Bulan Bintang: Jakarta, 1995.
ð  Drs.Faisal Ismail, sejarah dan kebudayaan islam dari zaman pemulaan hingga zaman Khulafaurrasyidin, Bina Usaha: Yogyakarta, 1984.



[1] Prof.Dr.A.Syalabi, sejarah dan kebudayaan islam,hal.226

[2] Ibid, hal:227
[3] Drs.Faisal Ismail, sejarah dan kebudayaan islam dari zaman pemulaan hingga zaman Khulafaurrasyidin,hal.108
[4] Ibid, hal:118
[5] Ibid, sejarah dan kebudayaan islam, hal:264
[6] Ibid, sejarah dan kebudayaan islam dari zaman pemulaan hingga zaman Khulafaurrasyidin. Hal: 127
[7] A.Hasyim, sejarah dan kebudayaan islam, hal.129

™Welcome to Bagu's08 Blog, Now Is Time To Be Smart™

Followers

Powered by Blogger.

Bagus

Bagus