Peradaban Islam Sebelum Dan Sesudah Kemerdekaan Indonesia

Sunday, April 28, 2013

| 0 komentar


PENDAHULUAN

            Dizaman modern ini masyarakat Indonesia telah banyak yang melupakn sejarah-sejarah terutama sejarah peradaban Islam di Indonesia.
            Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia telah mencapai puncaknya dengan diproklamirkannya proklamasi oleh Ir. Soekarno, sesungguhnya perjuangan bangsa ini masih banyak yang harus disempurnakan. Sejak awal kebangkitan Nasional, posisi agama sudah mulai di bicarakan dalam kaitannya dengan politik atau Negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, negara Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah negara “sekuler”, negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di negara turki oleh mustafa kamal. Golongan lainnya bependapat, negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”.
            Indonesia adalah Negara yang memiliki penduduk yang mayoritas beragama Islam. Walaupun Indonesia tidak memakai Islam sebagai Asas Negara, akan tetapi mayoritas kebudayaan yang diusung oleh Islam sangat mendominasi kehidupan bangsa Indonesia, khususnya penduduk yang beragama Islam. Kebudayaan-kebudayaan  yang berlaku itu berangsur-angsur membentuk suatu peradaban Islam yang mampu membawa penduduk Indonesia kepada kemajuan dan kecerdasan.
            Peradaban Islam di Indonesia Sesudah Kemerdekaan mengalami perubahan yang sangat pesat, perubahan tersebut terjadi hampir meliputi seluruh aspek kehidupan. Untuk mengetahui Peradaban Islam di Indonesia Setelah Kemerdekaan mari kita diskusikan makalah ini bersama.






PEMBAHASAN
A.  Fase Sebelum Kemerdekaan
Islam tersebar di Indonesia melalui pedagang yang berdagang ke Indonesia, di mana masyarakat Indonesia sebelum Islam mayoritas memeluk agama Hindu. Islam tersebar di Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ketujuh sampai ke delapan Masehi.Daerah yang pertama pertama di kunjungi oleh penyebar Islam adalah sebagai berikut:

• Pesisir utara pulau Sumatera, yaitu di peureulak Aceh Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara.
• Pesisir utara pulau Jawa kemudian meluas sampai ke Maluku yang selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia kita tak lepas dari para wali-wali kita yang di sebut dengan wali sembilan (wali songo) yang dengan ketulusan mereka dan pengorbanan mereka sehinnga Islam dapat tersebar di Indonesia wali songo tersebut adalah:
1.      Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur.
2.      Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.
3.      Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4.      Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5.      Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik)
6.      Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.
7.      Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
8.      Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9.      Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon)

Ada tiga tahapan “masa” yang di lalui atau pergerakan islam sebelum kemerdekaan, yaitu:
1. Pada Masa Kesultanan
Daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera Barat dan Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, social dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama islam itu telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Dikerajaan tersebut agama islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu buktinya yaiut banyaknya nama-nama islam dan peninggalan-peninggalan yang bernilai keIslaman.
Dikerajaan Banjar dengan masuk islamnya raja banjar. Perkembangan islam selanjutnya tidak begitu sulit, raja menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya membawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan islam. Secara konkrit kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya Mufti dan Qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang Fiqih dan Tasawuf.
Islam di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai kebudayaan jawa, ia banyak memberikan kelonggaran pada sistem kepercayaan yang dianut agama Hindu-Budha. Hal ini memberikan kemudahan dalam islamisasi atau paling tidak mengurangi kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Wali Songo sangatlah berjasa dalam pengembangan agama islam di pulau Jawa.
Menurut buku Babad Diponegoro yang dikutip Ruslan Abdulgani dikabarkan bahwa Prabu Kertawijaya penguasa terakhir kerajaan Mojo Pahit, setelah mendengar penjelasan Sunan Ampel dan sunan Giri, maksud agam islam dan agama Budha itu sama, hanya cara beribadahnya yang berbeda. Oleh karena itu ia tidak melarang rakyatnya untuk memeluk agama baru itu (agama islam), asalkan dilakukan dengan kesadaran, keyakinan, dan tanpa paksaan atau pun kekerasan.
2. Pada Masa Penjajahan
Dengan datangnya pedagang-pedagang barat ke Indonesia yang berbeda watak dengan pedagang-pedagang Arab, Persia, dan India yang beragama islam, kaum pedagang barat yang beragama Kristen melakukan misinya dengan kekerasan terutama dagang teknologi persenjataan mereka yang lebih ungggul daripada persenjataan Indonesia. Tujuan mereka adalah untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan islam di sepanjang pesisir kepulauan nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia untuk menjalin hubungan dagang, karena Indonesia kaya dengan rempah-rempah, kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut.
Waktu itu kolonial belum berani mencampuri masalah islam, karena mereka belum mengetahui ajaran islam dan bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem social islam. Pada tahun 1808 pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para bupati agar urusan agama tidak diganggu, dan pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara dibidang perkawinan dan kewarisan.
Tahun 1820 dibuatlah Statsblaad untuk mempertegaskan instruksi ini. Dan pada tahun 1867 campur tangan mereka lebih tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada bupati dan wedana, untuk mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun yang bertentangan dengan peraturan Gubernur Jendral. Lalu pada tahun 1882, mereka mengatur lembaga peradilan agama yang dibatasi hanya menangani perkara-perkara perkawinan, kewarisan, perwalian, dan perwakafan.
Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik islamnya. Dengan politik itu, ia membagi masalah islam dalam tiga kategori :
a.       Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b.    Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adapt kebiasaan.
c.    Bidang politik
Orang islam dilarang membahas hukum islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.

B.  Fase Sesudah Kemerdekaan
            Masa seteleh diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, bisa kita sebut sebagai Rezim Orde lama , dimana Soekarno bertindak sebagai kepala negara.
            Pemerintahan Soekarno yang berlangsung sejak tahun 1945 nyatanya bisa katagorikan kedalam dua kelompok besar, yakni masa Demokrasi Liberal (1945-1958) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966).
1.    Islam masa Revolusi dan Demokrasi Liberal
Pada awal kemerdekannya, Indonesia menghadapi sebuah pertanyaan besar , apakah pemerintahan akan dijalankan berlandaskan ajaran agama Islam ataukah secara sekuler? Hal ini dipicu oleh tindakan dimentahkannya kembali Piagam Jakarta. Kedudukan golongan Islam merosot dan dianggap tidak bisa mewakili jumlah keseluruhan umat Islam yang merupakan mayoritas. Misalnya saja, dalam KNIP dari 137 anggotanya, umat islam hanya diwakili oleh 20 orang, di BPKNIP yang beranggotakan 15 orang hanya 2 orang tokoh Islam yang dilibatkan. Belum lagi dalam kabinet, hanya Menteri Pekerjaan umun dan Menteri Negara yang di percayakan kepada tokohIslam, padahal Umat Islam mencapai 90% di Indonesia.
Dalam usaha untuk menyelesaikan masalah perdebata ideologi diambilah beberapa keputusan , salah stunya adalah dengan mendirikan Kementrian Agama.
2.     Pembentukan Kementrian Agama
Pembentukan Kementrian Agama ini tidak lepas dari keputusan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dalam sidangnya pada tanggal 25-26 Agustus 1945 yang membahas agar dalam Indonesia yang merdeka ini soal-soal keagamaan digarap oleh suatu kementrian tersendiri, tidak lagi bagian tanggung jawab kementrian Pendidikan. Kementrian Agama resmi berdiri 3 Januari 1946 dengan Menteri Agama pertama M. Rasyidi yang diangkat pada 12 Maret 1946.
Awalnya kementrian ini terdiri dari tiga seksi ,kemudian menjadi empat seksi masing-masing untuk kaum Muslimin, Potestan, Katolik Roma, dan Hindu-Budha. Kini strukturnya pun berkembang, terdiri dari lima Direktorat Jenderal ( Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Bimbingan Haji, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Bimbingan masyarakat Katolik, Ditjen Bimbingan Protestan dan Ditjen Bimbingan Hindu-Budha) juga dibantu oleh Inspektorat Jenderal, Sekertariat Jenderal, Badan Penelitian dan Pembangunan (Balitbang) Agama serta Pusat pendidikan dan Latihan (Pusdiklat ) Pegawai.
Tujuan dan Fungsi Kementrian Agama (dirumuskan pada 1967) :
1. Mengurus serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah serta membimbing perguruan-perguruan agama.
2. Mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan Agama dan keagamaan.
3. Memberi penerangan dan penyuluhan agama.
4. Mengurus dan mengatur peradilan agama serta menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum agama.
5. Mengurus dan mengembangkan IAIN, perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur, serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi.
6. Mengatur, mengurus dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.
Meskipun Departemen Agama dibentuk, namun tidak meredakan konflik ideologi pada masa sesudahnya.
Setelah Wakil Presiden mengeluarkan maklumat No.X pada 3 November 1945 tentang diperbolehkannya pendirian partai-partai politik, tiga kekuatan yang sebelumnya bertikai muncul kembali , Masyumi (majlis Syuro Muslimin Indonesia), Partai Sosialis (dengan falsafah hidup Marxis ) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang Nasionalis Sekuler. Setelah pemilu tahun 1955, banyak terjadi dialog ideologi secara terbuka dan memunculkan tiga alternatif dasar negara, yaitu : Islam, Pancasila dan Sosial Ekonomi.
Pada kurun waktu ini , umat Islam begitu kompak , buktinya dengan ditandatanganinya Kongres Umat Islam Indonesia pada tanggal 7-8 November di Yogyakarta. Selain itu , dalam menghadapi pasukan Belanda yang kembali setelah diboncengi NICA, para Kiyai dan Tokoh Islam mengeluarkan fatwa bahwa mempertahankan kemerdekaan merupakan fardhu a’in, sehingga munculah barisan Sabilillah dan Hizbullah. Hasil terpenting dari kongres ini adalah terbentuknya suatu wadah perjuangan politik Indonesia.
Disisi lain, Syahrir yang merupakan pimpinan KNIP mendesak untuk dilakukannya rekonstruksi KNIP melalui petisi 50 negara KNIP, tujuannya agar kkabinet tak didominasi oleh kolaborator (jepang dan Belanda). Desakan ini kemudian dikabulkan oleh Presiden, dengan demikian KNIP mendapatkan Hak legislatif untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Selain itu, Syahrir dan kelompoknya juga mendesak untuk dilakukannya perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan Republik, kabinet bukan bertanggung jawab kepada Presiden, tapi kepada KNIP, dengan begitu sistem pemerintahan bukan lagi presidentil, tetapi Parlementer. Masyumi kurang sejalan dengan usulan Syahrir karena pada kenyatannya Syahrir sangat erat berhubungan dengan Jepang dan ekspensor Belanda. Presiden pada waktu itu setuju dengan usulan Syahrir, bahkan kemudian Syahrir diangkat menjadi Perdana Menteri pada 14 November 1945. Hasilnya, dari 14 anggota parlemen, hanya satu orang yang dapat dianggap mewakili tokoh Umat Islam, yaitu H. Rasyidi yang kemudian bertamabah pada 3 Januari 1946 dengan diangkatnya M. Natsir sebagai Menteri Penerangan. Sejak saat itu, Masyumi menjadi oposisi dan baru pada Kabinet Amir Syarfudin Masyumi masuk sebagai partai koalisi.
Selanjutnya dalam kabinet Hatta, ada enpat masalah krusial yang harus dselesaikan , yaitu gerakan Darul Islam, konsekuensi Perjanjian Renville, penyerahan kedaulatan melalui KMB dan penanganan pemberontakan PKI pada 1948 di Madiun. Dalam kurun waktu 1950-1955 peranan parpol Islam mengalami pasang surut .
Setelah pemilu 1955 dimana terpilihnya Kabinet Ali Sostroamidjoyo II yang merupakan koalisi PNI, Masyumi dan NU. Kabinet ini kemudian jatuh pada 1957 karena ingin ikut serta dalam kekuasaan pemerintahan, selain itu Perti dan Masyumi pun keluar dari kabinet karena kurang setuju dengan kebijakan dalam menangani krisis di beberapa daerah. Pemerintahan pun diambil alih oleh Presiden. Pada 1959, dikeluarkanlah Dekrit Presiden tentang pembubaran konstituante dan sekaligus pemberlakuan kembali Undang-undang Dasar taun 1945 dan usaha-usaha partai Islam untuk menegakan sIslam sebagai ideologi negara dalam konstituante pun mengalami jalan buntu. Dekrit ini sebenarnya ingin mengambil jalan tengah untuk menyatakan bahwa Piagam Jakarta terkandung dalam UUD 1945, namun tampaknya kemudian menjadi awal bergantinya sistem demokrasi Liberal berganti menjadi demokrasi terpimpin.

Diksi dan Frasa

| 0 komentar


PEMBAHASAN
A.     Pengertian Diksi (Pilihan Kata)

Diksi berasal dari kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) berarti perihal pemilihan kata. Dalam websters (edisi ketiga, 1996) diction diuraikan sebagai choice of words esp with regard to correctness, clearness, or effectiviness. Jadi, diksi membahas penggunaan kata, terutama pada soal kebenaran, kejelasan, keefektifan. Ada tiga pengertian diksi yang harus diketahui :
1.      Diksi atau pilihan kata mencakup pengertian kata-kata mana yang akan dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.
2.      Diksi atau pilihan kata adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan ,dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki oleh suatu kelompok pendengar/penerima.
3.      Diksi adalah suatu pilihan kata yang tepat dan sesuai, hanya dimungkinkkan penguasaan sejumlah besar kosakata atau pembendaraan kata bahasa.

B.     Perangkat-perangkat diksi
a.      Kata berdenotasi dan berkonotasi
      Kata denotasi adalah kata yang tidak mengandung makna tambahan atau perasaan tambahan makna tertentu. Adapun maknanya adalah makna denotative. Yang artinya makna sebenarnya, yang di tunjuk oleh sesuatu yang disimbolkan. Misalnya sebuah peranti (alat) duduk di kantor yang dimnamakan kursi maka sebuah tempat duduk dinamakan sebagai kursi. Kata kursi  dalam hal ini memiliki makna apa adaya sesuai yang disimbulkan. Tidak ada nuansa makna lain diluar makna sesungguhnya. Jadi makna demikian inilah yang dimaksud makna denotative.
      Didalam karya-karya ilmiah akademik diperguruan-perguruan tinggi, yang lazimnya juga membuat banyak mahasiswa kalang-kabut ketika dituntut menyelesaikannya. Dikarenakan karya ilmiah akademis dasarnya adalah data atau fakta sesungguhnya, dan bahasa yang digunakannya pun harus denotative, konseptual, referensial,yang sesuai dengan obyek dan fakta sebenarnya.
       Kata konotasi adalah kata kiasan atau bukan kata sesungguhnya. Jadi sebuah kata bisa diartikan berbeda pada masyarakat yang Satu dan masyarakat yang lainnya. Makna konotatif memiliki nuansa makna subyektif dan cendrung digunakan dalam setuasi tidak normal. Contoh dalam konteks ilmiah, coba perhatikan kalimat “dengan memanjatkan puji syukur…” pemakaiaan bentuk “memanjatkan” dalam kalimat tersebut jelas sekali bermakna konotatif,bukan denotative.
      b.   kata bersinonim dan berantonim
      kata bersinonim artinya kata sejenis, sepadan, sejajar, serumpun, dan memiliki arti sama. Atau dapat diartikan bahwa sinonim adalah persamaan makna kata  maksudnya dua kata atau lebih yang berbeda bentuknya, ejaanya, penucapan, atau lafalnya, tetapi memiliki makna sama atau hampir sama. Contohnya kata “hamil,dan mengandung serta bunting “ ketiga bentuk kata tersebut dapat dikatakan bersinonim karena bentuknya beda, tetapi maknanya sama. 
      Kata berantonim adalah yang memiliki bentuk yang tidak sama dengan makna lainnya. Atau kata yang berlainan makna dengan kata sinonim. Contohnya kata panas dan dingin. Bentuk berantonim dapat dibedakan menjadi 4 perbedaan. Pertama antonim kembar yaitu menunjuk pada perbedaan antara dua entitas kebahasan, misalnya ‘jantan dan betina’. Cirri mendasar antonim kembar adalah kehadiran entitas kebahasan yang satu meniadakan entitas kebahasan yang satunya lagi. Kedua antonim plural cirri pokoknya adalah penegasan pada anggota tertentu akan mencakup penyangkalan setiap anggota lain secara terpisah, misalnya kelas logam, kelas tumbuh-tumbuhan, kelas buah-buahan. Ketiga antonim gradual yaitu merupakan penyimpangan dari antonim kembar (dual). Kalau dalam antonim kembar ada dikotomi ‘kaya dan miskin’, maka dalam antonim gradual terdapat ‘setengah kaya, atau lumayan kaya atau agak kaya. Keempat antonim relasional yaitu bentuk kebahasaan  yang dianggap berantonim memiliki relasi kebalikan, misalnya antar ‘guru dan murid’.
      c.  kata bernilai rasa
      Diksi atau pemilihan kata juga mengajarkan senantiasa menggunakan kata-kata yang brnilai rasa tinggi. Memang terkadang ada kontroversi antara kata-kata bernilai rasa dengan kata-kata baku. Dalam konteks ini kita harus cermat dalam memahaminya, kalau dalam pembahasan karya ilmiah tentu yang akan berlaku adalah kata-kata baku, namun jika dalam laras pemakaian bahasa yg lebih santai maka bisa kita gunakan kata yg bernilai rasa. Contoh pemakaiaan umum ‘wanita dan perempuan. Ada yang mengatakan kata perempuan lebih bagus dari kata wanita, dan juga kata ‘pelacur dan pekerja sek komersian’. Antara dua kata ini kita dapat bedakan mana kata yg memiliki nilai rasa dan mana yang tidak.
      d.  kata konkret dan abstrak
      kata konkret adalah kata-kata yang menunjukkan pada obyek yang dapat dipilih, didengar, dirasakan, diraba, atau dicium. Kata konkrat merupakan kata yang lebih mudah dipahami daripada kata abstrak. Keefektifan kata konkret sering di gunakan dalam deskripsi karena kata-kata konkret lebih dapat merangsang pancraindra. Jadi kata konkret merupakan kata-kata yang dapat diindra. Dengan demikian kata konkret sifatnya menyimbolkan atau melambangkan sesuatu, contohnya kata ‘meja dan kursi’.
      Kata abstrak adalah kata yang menunjukkan pada konsep atau gagasan. Kata abstrak cendrung dipakai untuk mengungkapkan gagasan-gagasan yang cendrung rumit. Penggunaanya lazim untuk membuat persuasi/ argumentasi, misalnya kata ‘pembodohan dan kemiskinan’. Tentu saja dua kata tadi merupakan kata-kata abstrak yang hanya dapat ditangkap maknanya dengan kejernihan pemikiran dan ketajaman pikir. Jadi pemaknaan dan penafsiran kata-kata abstrak itu bukan melalui indra.
      e.  kata umum dan kata khusus
      Kata-kata umum adalah kata-kata yang lebih luas ruang lingkupnya, yang memerlukan penjabaran dan perincihan yang lebih dari pada kata khusus. Semangkin umum suatu kata maka semangkin kabur gambarannya dalam angan-angan, dari sini dapat dikatakan bahwa pemakaian kata-kata umum bertentangan dengan prinsip akurasi. Akurasi dalam artian ketelitian dan ketepatan secara spesifik, sesuatu yang khas, yang membedakan dngan yang lain. Kata-kata umum bias mengaburkkan pesan dan menyesatkan pemahaman,  Misalnya kata ‘banyak korban’ bentuk kata ini adalah kata yang perlu dihindari dalam deskripsi. Alasannya  makna frasa ‘banyak korban’ masih terbuka untuk diargumentasikan.
      Kata-kata khusus adalah kata-kata yang merupakan kebalikan dari kata-kata umum yaitu kata-kata yang sempit ruang lingkupnya, terbatas konteks pemakaiaanya. Kata-kata khusus lebih menegaskan pesan, lebih memusatkan perhatian, dan memfokuskan pengertian, serta selaras dengan perinsip akurasi kejurnalistikan. Misalnya kata umum ‘banyak koraban’ dapat kita khususkan lagi katanya dengan menggunakan angka yang tepat untuk menunjukkan kespesifikan, jenisnya dan kelompoknya. Misalnya ‘para korban banjir yang terdiri atas 200 pria dan 100 perempuan, 50 remaja, dan 60 balita masing-masing mendapatkan selimut’. Dari contoh tersebut maka seseorang akan lebih memusatkan dimensi-dimensi kekhususan dan kespesifikan kata tersebut.
      f.  kelugasan kata
      Kata lugas adalah kata yang ringkas, tidak merupakan frasa yang panjang, tidak mendayu-dayu, dan tidak berbelt-belit. Lazimnya kata lugas merupakan kata yang kompleks, yang bahasa gaulnya adalah kata tembak langsung (to the point), tegas lurus dan apa adanya. Pemakaian bentuk-bentuk yang vertabilitis, yang keasing-asingan, sesungguhnya dapat dianggap bertentangan dengan perinsip kelugasan ini. Memang cendrung orang menggunakan bahasa asing karena dianggap kata-kata bukan asing tidak lugas, kurang pas dan tidak mengambarkan konsep. Misalnya kata jima’ (senggama) sepertinya terlalu lugas dan terlalu langsung di banding dengan kata ‘berhubungan badan’.
      g.  Penyempitan dan perluasan makna kata
      Penyempitan kata adalah pergeseran makna kata dalam kurun waktu tertentu yang bermakna luas menjadi bermakna sempit atau sangat terbatas, penyempitan kata yang demikian ini memang merupakan tuntutan kehidupan atau perkembangan bahasa. Contohnya kata ‘pendeta’ yang semula bermakna orang yang berilmu, tetapi kini menyempit maknanya menjadi ‘guru agama kristen’ atau ‘pengkhutbah kristen’. Hal ini terjadi karena adanya dinamika-dinamika bahasa yang bermakna baru, adapun bahasa yang hidup pasti akan terus berdinamika.
      Perluasan kata adalah kebalikan dari penyempitan kata hal ini terjadi sama halnya dengan makna penyempitan kata yaitun disebabkan oleh perkembangan dan pertumbuhan dinamika bahasa yang terjadi pada kurun waktu tertentu. Ini merupakan symbol dari kesuburan bahasa. Misalnya kata ‘bapak’ dalam pengertian sempit pasti hanya digunakan oleh seorang anak kepada ayahnya. Akan tetapi cobalah perhatikan, sekarang seorang pimpinan di kantor-kantor pasti di sebut ‘bapak’ demikianlah fakta yang berlaku dalam pamakaian perluasan kata.
      h.  keaktifan dan kepasifan kata
      Dalam diksi atau pemilihan kata yang di maksud dengan kata-kata aktif atau pasif di sini bukanlah kata yang berawalan me- ataupun di-. Adapun yang di maksud dengan kata-kata aktif disini adalah kata-kata yang banyak di gunakan oleh tokoh masyarakat, selebritis, para jurnalis media, dosen politisi, dan sebagainya.
Terjadinya hal ini lazim karena proses kreatif, yakni kreatifitas yang bersifat membangkitkan atau generative. Pemakaian bahasa Indonesia kontemporer yang terjadi sekarang ini banyak menjadi bukti sekaligus saksi akan banyak di lahirkannya kata-kata yang baru. Praktek pengaktifan kata misalnya dapat dilihat dari pemakaian bentuk ‘terkini’ oleh media massa. Tidak banyak yang tahu bahwa bentuk kebahasaan yang demikian itu sebenarnya tidak benar dari sisi kebahasaan. Bentuk adverbia ‘kini’ bagaimana mungkin di tambah dengan awalah ter- sehingga menjadi terkini.namun kata tersebut telah di aktifkan oleh media massa sehingga pemakaian kata tersebut menjadi luas. Oleh sebab itu hendaklah mahasiswa harus cermat dalam menguasai bentuk-bentuk kata yang aktif digunakan secara tidak benar.
i.        ameliorasi dan peyorasi kata
       Yang di maksud amelliorasi dalam diksi adalah proses perubahan makna dari yang lama ke yang baru, ketika bentuk yang baru dianggap dan dirasakan lebih tinggi dan lebih tepat nilai rasa serta konotasinya dibandingkan yang lama.
      Adapun peyorasi adalah kebalikan dari ameliorasi yakni perubahan makna dari yang baru ke yang lama, karena yang lama diaggap nilai rasa dan konotasinya lebih tinggi. Bolak-baliknya hal ini adalah suatu bukti dari dinamika bahasa yang bermatabat. Misalnya bentuk kata ‘sangkul’ dan ‘mangkus’ dengan maksud ‘efektif’ dan ‘efisien’. Serta kata ‘berak’ dan ‘kakus’, dimana kata tersebut sudah jarang digunakan pada zaman sekarang dan orang telah berpindah kebentuk yang lebih bermartabat dan memiliki rasa yang tinggi.
j.        Kesenyawaan kata
      Yang di maksud dengan kesenyawaan kata adalah bentuk indiomatis kata yang satu dan yang lainnya berhubungan erat, lekat, dan tidak bias dipisahkan oleh alasan apapun juga. Misalnya saja bentuk kata ‘sesuai dengan’ dan ‘disebabkan oleh’. Dimana banyak orang menyimplifikasikan bentuk kata ‘sesuai dengan’ menjadi bentuk ‘sesuai’ saja dan bentuk kata ‘disebabkan oleh’ menjadi bentuk disebabkan’ saja. Bentuk indiomatis ini sudah merupakan bentuk senyawa yang sudah tidak mungkin di modifikasi lagi.
k.      kebakuan dan ketidakbakuan kata
      Bentuk baku hadir karena adanya pembakuan bentuk – bentuk kebahasaan, yang pada gilirannya akan menjadikan bahasa Indonesia semakin bermartabat. Lazimnya akan banyak digunakan oleh masyarakat, pertama masyarakat dalam pengertian domestik maksudnya bahasa itu bahasa yang berharkat dan bermartabat tinggi. Kedua, masyarakat dalam pengertian internasional maksudnya bahasa indonesia sangat berpotensi untuk dapat dikembangkan menjadi bahasa yang berharkat dan bermartabat tinggi.



C. Pengertian Frasa

Frasa adalah satuan sintaktis yang berupa kelompok kata, yakni terdiri atas dua kata atau lebih yang bersifat non-predikatif, atau tidak memiliki ciri struktur klausa (Hockett, 1964:201), tidak memiliki subjek dan predikat.
Secara umum frasa atau kelompok kata dapat dibedakan menjadi dua yakni frasa eksosentris dan frasa endosentris. Adapun frasa eksosentris adalah frasa yang sebagian unsurnya, atau mungkin juga keseluruhannya, tidak memiliki prilaku sintaksis yang sama dengan semua komponennya. Adapun komponenya ada dua yaitu komponen sumbu dan komponen perangkai, maksud komponen perangkai ialah berupa preposisi dan kata depan.
Adapun frasa atau kelompok kata yang mengunakan preposisi atau kata depan sebagai perangkai disebut frasa preposisional (frasa eksosentris direktif). Misalnya bentuk kata ‘dengan sabar’, ’dengan baik’, ‘pada hari’, di samping’, ‘demi waktu’, dll. Frasa eksosentrik direktif ini di dalam kalimat lazimnya berfungsi sebagai keterangan.
Sedangkan frasa eksosentrik nondirektif dibagi dua ada yang seluruh atau sebagian komponennya memiliki prilaku yang sama, misalnya bentuk kalimat ‘sang kecil’, dan ‘si terdakwah’. Dua partikel tersebut yaitu ‘sang’, dan ‘si’ memiliki prilaku sama dengan bagian-bagian frasa tersebut. Ada juga beberapa kalimat yang tidak memiliki prilaku yang sama dengan bagian-bagiannya misalnya bentuk kata ‘yang besar’, kata ‘yang’  tidak memiliki prilaku yang sama dengan kata ‘besar’.
Frasa endosentris adalah frasa yang seluruh bagiannya memiliki prilaku sintaksis yang sama dengan prilaku salah satu komponen frasa tersebut. Frasa ini di bagi menjadi beberapa bagian yang akan di terangkan berikutnya.
1.      Frasa Nominal
            Yaitu frasa yang terdiri dari nomina sebagai induk atau sebagai pusat dan unsure-unsur lain yang berupa adjektiva. Verba, numeralia, demonstrative, pronominal, dan bentuk-bentuk kebahasaan yang lain, yang berfungsi sebagai modifikator atau penjelasnya. Contohnya bentuk kalimat ‘kawan seperjuangan’, ‘sosok yang terpanjang’, ‘wanita cantik jelita’, dll.
2.      Frasa Pronominal
            Yaitu frasa yang konstruksinya merupakan gabungan antara nomina dan pronomina dengan unsure-unsur lainnya seperti adjektiva, adverbial, numeralia, dan demonstrative. Pronominal tersebut sebagai nduknya, sedangkan unsure-unsur yang ainnya merupakan modifikator atau penjelasnya. Contohnya bentuk kata ‘mereka itu’, ‘kamu itu’, mereka berdua’, ‘saudara sekalian’, dll.
3.      Frasa Verbal
            Yaitu gabungan antar verba dan verba, verba dengan adverbial atau yang lainnya. Jadi verbalah yang menjadi inti atau induk dari frasa verbal, dan unsure-unsur yang lainnya merupakan penjelas atau modifikatornya. Contohnya bentuk kata ‘pergi ke jakarta’, ‘naik jabatan’, ‘meninggal dengan tenang’, dll.
4.      Frasa Adjektival
            Yaitu frasa yang merupakan gabungan antara adjektiva dan komponrn yang lainnya. Adapun induk atau inti frasa tersebut adalah kata sifat atau adjektiva, sedangkan komponen-komponen lain yang membentuk frasa berfungsi sebagai penjelas atau modifikatornya. Contohnya bentuk kata ‘panas terik’, ‘riang gembira’, ‘gelap gulita’, dll.
5.      Frasa Numeral
            Yaitu frasa yang merupakan gabungan antara numeralia dan unsu-unsur lainnya. Di dalam kontruksi frasa ini, numeralialah yang menjadi induk atau inti frasanya. Contohnya bentuk kata ‘dua puluh’, ‘dua ekor’, ‘dua lusin’, dll.
6.      Frasa Interogativa
            Yaitu frasa yang intinya adalah interogativa. Contohnya bentuk kata ‘siapa dan apa’, ‘mengapa dan bagaimana’. Frasa demonstartiva biasanya bersifat koordinatif.
7.      Frasa Demonstrativa
            Yaitu frasa yang induknya adalah demonstrative. Contohnya bentuk kata ‘sana dan sini’, ‘ini dan itu’. Frasa demonstrative biasanya bersifat koordinatif.
8.      Frasa Preposisional
            Yaitu frasa yang induknya adalah preposisi. Contohnya bentuk kata ‘dari dan ke’, ‘dari, oleh, dan untuk’. Frasa preposisional biasanya bersifat koordinatif

 
™Welcome to Bagu's08 Blog, Now Is Time To Be Smart™

Followers

Powered by Blogger.

Bagus

Bagus