PENDAHULUAN
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat
kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia
merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan
pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya
ijma’ itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al
Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks
itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat
melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka
hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan
para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika
mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan
berdasarkan hukum yang telah disepakati.
Terkait dengan ijma’ ini masih banyak komonitas diantaranya,
sebagian mahasiswa yang masih minim dalam memahami ijma’ itu sendiri maka dari
itu kami penulis akan membahas tentang ijma’ dan dirumuskan dalam rumusan
masalah dibawah ini.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau
sependapat. Sedangkan menurut istilah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad
Umat Nabi Muhammd, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara
(hukum).
Pada
sumber lain ada yang mengatakan bahwa ijma’ secara bahasa adalah niat yang kuat
dan kesepakatan. Dan arti menurut bahasa adalah kesepakatan para mujtahid ummat
ini setelah wafatnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam terhadap suatu hukum
syar’i.
Pada
referensi yang lainnya ada yang mengatakan Ijma' (الِإجْمَاعُ) adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (أَجْمَعَ)
yang memiliki dua makna.
1. Tekad
yang kuat (العَزْمُ المُؤَكَّدُ) seperti: أَجَمَعَ فُلَانٌ عَلَى سَفَرٍ (sifulan bertekad kuat untuk melakukan perjalanan).
2.
Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) seperti: (أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى كَذَا) kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu.
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:
اتِّفَاقُ مُجْتَهِدِيْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ وَفَاتِهِ فِيْ عَصْرِ مِنَ العُصُوْرِ عَلَى أَمْرٍ مِنَ الأُمُوْرِ
"kesepakatan
para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu
dan terhadap perkara-perkara tertentu pula".
Pada
masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan
suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliu, apabila ada
hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Ijma’
itu dapat terwujud apabila ada empat unsur.
1. Ada
sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (ijma’) tidak
mungkin ada kalau tidak ada sejumlah mujtahid, yang masing-masing mengemukakan
pendapat yang ada penyelesaian pandangan.
2. Bila
ada kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap hukum syara’ tentang suatu
masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri, kebangsaan
atau kelompok mereka.
Jadi, kalau mujtahid Makkah,
Madihan, Irak, Hijaz saja umpamanya yang sepakat terhadap suatu hukum syara’
tidak dapat dikatakan ijma’ menurut syara’ kalau bersifat regional. Tetapi
harus bertahap internasional. Masalah mungkin terjadi ijma’ atau tidak, lain
lagi persoalannya, karena ada diantara ulama’ yang mengatakan mungkin dan ada
pula yagn mengatakan tidak mungkin.
3. Kesepakatan
semua mujtahid itu dapat diwujudakan dalam suatu hukum tidak dapat dianggap
ijma’ kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika mayoritas setuju,
sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan pendapat.
4.
Kesepakatan para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih
dahulu, sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.
Ijma’
menurut para ulama’
:
1.
Menurut Imam Ghazali
Ijma’ adalah kata sepakat (ittifaq)
umat Muhammad SAW. Khusus mengenai suatu persoalan keagamaan.
2.
Menurut Al Amidi
Ijma’ itu ialah formulasi tentang
kata sepakat kelompok yang berwenang mengambil keputusan dari umat Muhammad SAW
pada suatu masa tertentu tentang ketentuan suatu kasus tertentu.
3.
Menurut Nasa’i
Ijma’ itu adalah kata sepakat para
ulama yang mempunyai kewenangan ber ijtihad, pada setiap masa pada suatu hukum.
4.
Menurut Syaukani
Ijma’ ialah kata sepakat para
Mujtahidin dari umat Nabi Muhammad SAW setelah wafatnya pada masa tertentu
tentang suatu persoalan.
5.
Menurut Syi’ah Imamiyah
Ijma’ itu adalah suatu kesepakatan
yang mengungkapkan sabda al-ma’shum, baik kata sepakat itu dari seluruh umat
atau hanya sebagian.
6.
Menurut Al Nazhzham (tokoh
Mu’tazilah)
ijma’ itu ialah semua pendapat yang
didukung oleh hujjahnya sekalipun pendapat itu hanya pendapat satu orang saja
7.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah
Ijma’ adalah sumber hukum
ketiga yang dijadikan pedoman dalam ilmu dan agama, mereka menimbang seluruh
amalan dan perbuatan manusia baik batiniyah maupun lahiriyah yang berhubungan
dengan agama dengan ketiga sumber hokum ini.
B. Syarat-Syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu
bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini.
1. Yang
bersepakat adalah para mujtahid.
Para ulama’ berselisih faham tentang
istilah mujtahid.
Secara umu
mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam
mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kita “jam’ul jawami”
disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang fakih.
Beberapa
pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid
adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dsan mempu
mengistimbat hukum dari sumbernya.
Dengan
demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat
mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula penolakan mereka, karena mereka
tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.
2. Yang bersepakat adalah seluruh
mujtahid.
Bila
sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut
jumhum, hal itu tidak bisa dikatakan jima’. Karena ijma’ itu harus mencakup
keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama’ berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila
dilakukan oelh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’
termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut
kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
3. Para mujtahid harus umat Muhammad
SAW.
Kesepakatan
yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dikatakan
ijma’, hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang berijma’, adapun
ijma’ umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin
berijma’ untuk melakukan kesalahan.
4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi.
Ijma’ itu
tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati
perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik adna itu dianggap sebagai
syariah.
5. Kesepakatan mereka harus
berhubungan dengan Syariat.’
Maksudnya,
kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yagn ada kaitannya dengan syariat,
seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.
C. Macam-Macam
Ijma’
Ijma’
ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1. Ijma’
Sharih; Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap
suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid
mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yan mencerminkan
pendapatnya.
2. Ijma’
Sukuti: Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas
terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang
lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap
pendapat yang telah dikemukakan.
D.
Kemungkinan Terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’
dan kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah
terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan, ijma’ itu
tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:
Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur
terntang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa
sehingga harus memenuhi dua kriteria:
1. Mengetahui karakter setiap
mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan ijma’.
2. Mengetahui pendapat masing-masing
mujtahid tentang permasalahan tersebut.
Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang
qath’I ataupun yang dhanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’I maka tidak
diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila
didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda
pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan
kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yagn menguatkan
pendapat mereka.
E.
Kehujjaan Ijma’ menurut Pandangan Ulama’.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan
argumentasi (hujjah) berdasarkan dua dalil berikut:
Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan
bersepakat terhadap kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik,
maka munurut Allah juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang
telah disepakati dapat dijadikan argumentasi.
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan
ijma’, misalnya, apakah ijma’ itu hujjah syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan
landasan usul fiqih atau bukan? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma’?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama’
berbeda pendapat. Al-Qardawi berpendapat bahwa orang-orang hawn tidak
menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam sejarahnya dia mengatakan
bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlak.
Menurut Al-Maidi, para ulama’ telah sepakat mengenai ijma’
sebagai hujjah ygn wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan
Syi’ah, Khawarij dan Nizam dari golongan Mu’tazilah.
Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi
pendapat Nizam, Khawarij dan Syiah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’
itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab “Qawa’idul Usul dan
Ma’qidul Usul” dikatakan bahwa ijma’ hujjah pada setiap masa. Namun pendapat
itu ditentang oleh “Daut” yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada
masa sahabat.
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu
merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat
mereka tentang ijam’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.
1. Kehujjahan ijma’ sharih
Jumhur
telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i, wajib
mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu
permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang, dan
menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh
jumhur
Firman Allah SWT. dalam surat
Annisa’ ayat 115.
Artinya :
Barang
siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu
seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
Kehujjahan
dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang tidak
mengikuti jalannya orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan
ke neraka Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu
menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu
adalah batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh
orang-orang mu’min adalah hak dan wajib diikuti.
2. Kehujjahan ijma’ sukuti
Ijma’
Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian
dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan
sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’I yang
menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka
berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati
sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan
ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga
kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal
itu qath’I atau zanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya
kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun
dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian
besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti
merupakan hujjah qat’I seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah
diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap
pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi
persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang
kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai
hujjah yang qat’I karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak
bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat
kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia
merupakan dalil pertama setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan
pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan
ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan
kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui
hukumnya.
Adapun dari ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan
sebagai hujjah/ sumber hukum (ijma’)
Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat beberapa macam.
Diantaranya: ijma’ sharih, ijma’ sukuti. Dari dua versi itu lahirlah
perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ itu sendiri.
Seperti ijma’ sukuti misalkan, pengikut Imam Maliki dan
Syafi’I memandang bahwa ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak menganggap
sebagai ijma’.
Sedangkan
segolongan dari Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø M. Ali Hasan. Perbandingan
Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2007.
Ø Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih.
Bandung: PT. Alma’arif 1973.
Ø Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu
Usul Fiqih. Pustaka Amani, Jakarta 2003.
Ø Prof. Dr. Rachmat Syafi’i. MA.
Ilmu Usul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia 2007.
Ø Prof. Muhamad Abu Zahrah. Usul
Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Pertama 1994., Cetakan
Kesembilan 2005.
Ø Zuhri, Muh.1996.Hukum Islam
Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : PT Raja Grafindo
Ø Zayd, Nashr Hamid Abu. 1997.Imam
Syafi’i Moderatisme Eklektisme Arabisme, Yogyakarta : LKiS
Ø As Syaukani, 2006 Irsyadul
Fuhul: Ila Tahqiqil Haq Min ? : Darul Kotob Ilmiah;
0 komentar:
Post a Comment