PENDAHULUAN
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio.
Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan menemukan
hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus)
dalam syariah (al-kitab wa sunnah).Dengan demikian, sumber hukum Islam terdiri
atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari sumber hukum primer
tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir
al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat
Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan, Istishlah
dan Istishhab.
Seiring perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan dalam
proses interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist merupakan
sumber hukum yang masih universal penjelasannya. Sehingga dibutuhkan ijtihad
para mujtahid. Tidak bisa dipungkiri bahwa amalan para mujtahid masih sangat
diperlukan dalam menginstinbathkan hukum syara. Sebab ada hal-hal tertentu
dalam hukum syara` yang memang masih butuh penjelasan lebih lanjut. Biasanya
yang menjadi objek dari qiyas ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan cabang
bukan pokok dari suatu perkara hukum syara`.
Biasanya untuk hal yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam al-quran maupun
al-hadits. Qiyas menjadi sangat penting mengingat makin banyak permasalahan
baru dalam dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan perkembangan
zaman. Untuk itu penganalogian masalah hukum dengan tetap memperhatikan
al-quran dan hadits sebagai acuan pokok menjadi sangat penting untuk
menghindari perpecahan dan kebutaan umat terhadap perkara hukum syara`. Maka diperlukan
Qias sebagai sumberhukum islam yang ke 4. olehnya itu, pada pembahasan makalah
kami ini akan memaparkan sedikit tentang qiyas.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qiyas
Qiyas menurut
bahasa Arab berarti (المساواة)menyamakan , dan
( التقدير ) membandingkan
atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu
mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan
sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter
atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang
lain dengan mencari persamaan-persamaannya. Qiyas dalam istilah ushul, yaitu
menyusul peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang
terdapat nash bagi hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk
menyamakan dua peristiwa pada sebab hukum ini . Menurut para ulama ushul fiqih,
ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar
nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan
‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Agar lebih mudah memahaminya
perhatikan contoh berikut: Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu
diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai
dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan
mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash,
yaitu perbuatan minum khamar, yang diharamkan berdasarkan firman AllahSWT.
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (minum) khamar; berjudi, menyembah patung dan mengundi
nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk
perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat
keberuntungan.” (al-Mâidah:90).
Antara minum narkotik dan minum
khamar ada persamaan, illatnya, yaitu sama sama berakibat memabukkan para
peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illatitu
ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya
meminum khamar. Adapun Dasar Hukum Qiyas, sebagian besar para ulama fiqh dan
para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah
satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya
mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas
yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan
ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan
qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun
yang dapat dijadika dasar. Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya
sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat.
a. Al-Qur’an
AllahSWTberfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan
ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan
hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(an-Nisâ’: 59)
b.
Al-Hadits.
Setelah
Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau
bertanya kepadanya: Artinya: “Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila
dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan
berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz
berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak
memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan
menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu
Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah
memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai
dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
B. Rukun
Qiyas
Ada empat rukun giyas, yaitu:
1.
Ashal (الأصل) yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa
yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih
(yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul
‘alaih (tempat membandingkan);
2.
Fara’ (الفرع) yang berarti cabang, yaitu suatu
peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah
(yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
3.
Hukum ashal (الحكم) yaitu hukum dari ashal yang telah
ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’
seandainya ada persamaan ‘illatnya; dan
4.
‘IIIat (العلة) yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan
sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat ada pula pada fara’, maka
persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan
hukum ashal.
C.
Syarat-syarat Qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun
qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Ashal dan fara’,
berupa kejadian atau peristiwa.
2.
Hukum ashal Ada
beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu:
ð Hukum
ashal itu hendaklah hukum syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash,
ð ‘Illat
hukum ashal itu adalah ‘illat yang dapat dicapai oleh akal,
ð Hukum
ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus
untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu.
ð ‘Illat
ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum
ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu
sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar
untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.
‘IlIat merupakan sifat dan keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum.
‘IlIat merupakan sifat dan keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum.
D.
Macam-macam Qiyas
Qiyas dapat dibagi kepada tiga
macam, yaitu:
1.
Qiyas
‘illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara’ karena keduanya
mempunyai persamaan ‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:
·
Qiyas jali
(jelas) ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada
kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu.
·
Qiyas khofi
(samar) ialah qiyas yang ‘ilIatnya mungkin dijadikan ‘illat dan mungkin pula
tidak dijadikan ‘illat,
2.
Qiyas
dalalah ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk
yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu
peristiwa.
3.
Qiyas
syibih ialah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih,
tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara’.
E.
Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama
kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber
hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum
dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan
hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas
dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang
dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Qs.4:59)
Ayat di atas
menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan
Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya
menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki
Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang
dinamakan qiyas. Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar
pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz
ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di
dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad. Sedangkan
dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi
Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang
shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’
menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan. Umpamanya, bahwa
Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya
katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar
maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’
adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan
qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian
(dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak. Dalil yang keempat adalah dalil
rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah
untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam
menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya
terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan
tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber
hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan
dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap
hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan
maslahah.
KESIMPULAN
Secara Etimologi
Qiyas menurut arti bahasa arab ialah penyamaan, membandingkan atau pengukuran, menyamakan
sesuatu dengan yang lain.
Secara
Terminologi Menurut ulama ushul Qiyas berarti menerangkan hukum sesuatu yang
tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan cara membandingkannya
dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Imam Jalaluddin
Al-mahalli mendefinisikan Qiyas ialah mengembalikan masalah furu’ (cabang)
pada masalah pokok, karena suatu illat yang mempersatukan keduanya
(cabang dan pokok) di dalam hukum.
Qiyas digunakan
jika mendapatkan permasalahan yang tidak ada nash yang menunjukkan solusi
permasalahan tersebut secara langsung atau tidak langsung (dilalah isyarah atau
thadhammuniyah). Disinilah nampak kelebihan Imam Abu Hanifah dalam mencari
sebab (ilat) hukum. Abu Hanifah berpegang kepada qiyas dalam berijtihad,
apabila perkara yang sedang dihadapi tidak terdapat dalam Al-Quran, Hadis dan
perkataan Sahabat. Beliau menghubungkan perkara yang dihadapi kepada nash
yang ada setelah memperhatikan ‘illat yang sama antara keduanya. Metode
ijtihad ini dalam mazhab Hanafi dinamakan dengan qiyas jali yaitu
kebalikan dari qiyas khafy yang dinamakan dalam mazhab Hanafi sebagai
istihsan.
Imam Abu Hanifah
hanya sedikit memiliki koleksi hadits yang shahih. Bukan karena tidak percaya
atau tidak mau menggunakan hadits, justru karena termasuk orang yang paling
bersungguh-sungguh dalam menyeleksi hadits, tak sembarangan hadits bisa ia
terima sebagai dalil. Dan karena sedikitnya hadits yang ia anggap shahih,
secara alami Imam Hanafi pun menemukan metode pengembangan dari nash yang sudah
ada (Al-Quran dan Hadits) untuk bisa diterapkan di berbagai persoalan
kehidupan, yaitu dengan mengambil ‘illat, atau persamaan aspek antara masalah
yang ada nashnya dengan masalah yang tidak ada nashnya. Metode ini kemudian
dikenal dengan nama qiyas
0 komentar:
Post a Comment