QIAS

Wednesday, May 8, 2013

|


PENDAHULUAN

            Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah (al-kitab wa sunnah).Dengan demikian, sumber hukum Islam terdiri atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan, Istishlah dan Istishhab.
            Seiring perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan dalam proses interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist merupakan sumber hukum yang masih universal penjelasannya. Sehingga dibutuhkan ijtihad para mujtahid. Tidak bisa dipungkiri bahwa amalan para mujtahid masih sangat diperlukan dalam menginstinbathkan hukum syara. Sebab ada hal-hal tertentu dalam hukum syara` yang memang masih butuh penjelasan lebih lanjut. Biasanya yang menjadi objek dari qiyas ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan cabang bukan pokok dari suatu perkara hukum syara`.
            Biasanya untuk hal yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam al-quran maupun al-hadits. Qiyas menjadi sangat penting mengingat makin banyak permasalahan baru dalam dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan perkembangan zaman. Untuk itu penganalogian masalah hukum dengan tetap memperhatikan al-quran dan hadits sebagai acuan pokok menjadi sangat penting untuk menghindari perpecahan dan kebutaan umat terhadap perkara hukum syara`. Maka diperlukan Qias sebagai sumberhukum islam yang ke 4. olehnya itu, pada pembahasan makalah kami ini akan memaparkan sedikit tentang qiyas.

PEMBAHASAN
A.   Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti (المساواة)menyamakan , dan ( التقدير )  membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya. Qiyas dalam istilah ushul, yaitu menyusul peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hukum ini . Menurut para ulama ushul fiqih, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Agar lebih mudah memahaminya perhatikan contoh berikut: Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu perbuatan minum khamar, yang diharamkan berdasarkan firman AllahSWT.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamar; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan.” (al-Mâidah:90).
Antara minum narkotik dan minum khamar ada persamaan, illatnya, yaitu sama sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illatitu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamar. Adapun Dasar Hukum Qiyas, sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadika dasar. Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat.
a.    Al-Qur’an
AllahSWTberfirman: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisâ’: 59)
b.    Al-Hadits.
Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya: Artinya: “Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
B.   Rukun Qiyas
Ada empat rukun giyas, yaitu:
1.    Ashal (الأصل) yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
2.    Fara’ (الفرع) yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
3.    Hukum ashal (الحكم) yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya; dan
4.    ‘IIIat (العلة) yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.
C.   Syarat-syarat Qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1.    Ashal dan fara’, berupa kejadian atau peristiwa.
2.    Hukum ashal Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu:
ð Hukum ashal itu hendaklah hukum syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash,
ð  ‘Illat hukum ashal itu adalah ‘illat yang dapat dicapai oleh akal,
ð  Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu.
ð   ‘Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.
‘IlIat merupakan sifat dan keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum.

D.   Macam-macam Qiyas
Qiyas dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu:
1.    Qiyas ‘illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara’ karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:
·       Qiyas jali (jelas) ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu.
·       Qiyas khofi (samar) ialah qiyas yang ‘ilIatnya mungkin dijadikan ‘illat dan mungkin pula tidak dijadikan ‘illat,
2.    Qiyas dalalah ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa.
3.    Qiyas syibih ialah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara’.

E.   Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
         Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Qs.4:59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas. Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad. Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan. Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak. Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.











KESIMPULAN
Secara Etimologi Qiyas menurut arti bahasa arab ialah penyamaan, membandingkan atau pengukuran, menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Secara Terminologi Menurut ulama ushul Qiyas berarti menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Imam Jalaluddin Al-mahalli mendefinisikan Qiyas ialah mengembalikan masalah furu’ (cabang) pada masalah pokok, karena suatu illat yang mempersatukan keduanya (cabang dan pokok) di dalam hukum.
Qiyas digunakan jika mendapatkan permasalahan yang tidak ada nash yang menunjukkan solusi permasalahan tersebut secara langsung atau tidak langsung (dilalah isyarah atau thadhammuniyah). Disinilah nampak kelebihan Imam Abu Hanifah dalam mencari sebab (ilat) hukum. Abu Hanifah berpegang kepada qiyas dalam berijtihad, apabila perkara yang sedang dihadapi tidak terdapat dalam Al-Quran, Hadis dan perkataan Sahabat. Beliau menghubungkan perkara yang dihadapi kepada nash yang ada setelah memperhatikan ‘illat yang sama antara keduanya. Metode ijtihad ini dalam mazhab Hanafi dinamakan dengan qiyas jali yaitu kebalikan dari qiyas khafy yang dinamakan dalam mazhab Hanafi sebagai istihsan.
Imam Abu Hanifah hanya sedikit memiliki koleksi hadits yang shahih. Bukan karena tidak percaya atau tidak mau menggunakan hadits, justru karena termasuk orang yang paling bersungguh-sungguh dalam menyeleksi hadits, tak sembarangan hadits bisa ia terima sebagai dalil. Dan karena sedikitnya hadits yang ia anggap shahih, secara alami Imam Hanafi pun menemukan metode pengembangan dari nash yang sudah ada (Al-Quran dan Hadits) untuk bisa diterapkan di berbagai persoalan kehidupan, yaitu dengan mengambil ‘illat, atau persamaan aspek antara masalah yang ada nashnya dengan masalah yang tidak ada nashnya. Metode ini kemudian dikenal dengan nama qiyas


0 komentar:

Post a Comment

™Welcome to Bagu's08 Blog, Now Is Time To Be Smart™

Followers

Powered by Blogger.

Bagus

Bagus